21 September 2011

NADA MIMPI

Bagiku kau adalah nada. Nada yang oktafnya terlalu tinggi hingga aku tak dapat menjangkaunya. Tak dapat kuraih meski sekencang apapun aku berteriak. Baiklah, aku tetap akan menyenandungkan nada milikmu , dengan nada yang sama meskipun dalam oktaf yang berbeda. Meskipun dengan begitu aku tetap tak bisa memilikimu, utuh.

Lalu senandungku merayap meniti hembusan angin ke dalam imaji yang melukiskan warnamu dalam benakku. Ada wajahmu yang kukira kukenal dengan sangat dekat. Ada rambutmu yang menggelayut membelai buah dadamu. Ada puting susumu, yang telah menyusui tiga anak, namun bagiku tetap serupa dengan puting susu perawan. Ada pipimu yang terjatuh, tetapi menurutku masih seranum apel seperti layaknya belia. Ada tubuhmu yang mengundangku untuk memberikan pelukan dan dekapan juga gumulan.

“Kau terlalu mahal!” kataku saat itu. Saat angin membawa suara kita.

“Kau pikir kau harus membeliku?”

“Tidak, aku harus membeli jarak. Dan kukira aku tak mampu membayarnya.”

“Hah....” kudengar desahan nafasmu itu. “Lalu kenapa kita tak seranjang saja selamanya?”

Mimpi! Senandungkan nadamu adalah mimpi. Warnamu mimpi. Wajahmu mimpi. Rambutmu mimpi. Payudaramu mimpi. Puting susumu mimpi. Pipimu mimpi. Tubuhmu mimpi. Pelukan, dekapan dan gumulan itupun mimpi. Semua tentangmu itu mimpi.

“Dan kita seranjang bersama adalah mimpi di dalam mimpi.” Kataku pada akhirnya.

“Berarti itu tak mungkin?”

“Entahlah...apakah mungkin ada cinta kedua jika hanya boleh ada satu kebersamaan.”

Kau pernah berkata, akulah kebahagiaanmu sedangkan dia adalah kenyataan. Jika begitu, apakah bahagia itu tak bisa ada dalam kenyataan? Apakah kenyataan itu tak bisa memberikan bahagia? Akupun tak juga bisa menemukan jawabnya.

Yang kutahu, kita harus mensyukuri kenyataan. Tapi kenyataan yang mana? Apakah gejolak hatimu padaku dan gairahku tentangmu bukan kenyataan jika kita berdua merasakanya dengan segenap panca indera?

Ah...tanya, tanya dan tanya! Hanya itu yang selalu ada.

"Baiklah, kita uji saja apakah ini realita atau hanya sekedar lagu impian” kataku kemudian.

“Bagaimana caranya?”

“Apakah semua rasa itu akan tetap terjaga meski kita tak bertegur sapa untuk waktu yang panjang, atau akan terkikis helai demi helai hingga akhirnya habis.” Seperti halnya tetumbuhan yang tak pernah disiram, mungkin dia akan mati. Atau akankah seperti seorang anak yang tak pernah dijenguk orang tuanya, dia masih akan mencari dan tetap mengakui orang-orang yang mengukir jiwa raganya.

"Itu berarti jika kita terjebak menjadi tetumbuhan yang mati kita telah memilih jawaban bahwa kita hanya bermimpi?”

“Ya,... dan bagiku itu bukan jebakan, tetapi pilihan. Membuatnya tetap bersemi, tetap mencari atau memilih untuk berpaling sia-sia.”

“Hemmm... lalu apa lagi?”

“Ketika kita memberi atau berbuat sesuatu untuk salah satu di antara kita, adakah kita merasa telah berkorban atau tidak.”

“Maksudmu?”

“Cinta telah tutup usia jika kita merasa telah berkorban untuk seseorang yang kita cintai. Karena orang akan melakukan apapun untuk cinta, tanpa pamrih dan tanpa merasa perih.”

Malam-malamku sendiri. Sunyi rebah berserakan di beranda, di kamar tidur, di mana-mana seolah menguntitku kemanapun aku beranjak. Ada hampa terhampar di sekelilingku ketika senja mulai menurunkan tirainya. Dan aku berharap kau tak mengalami hal yang sama. Karena aku tak merasa berkorban jikapun kau bermanja dengan semua yang ada dalam rumahmu. Karenanya, aku tak merasa sendiri.

Jangan berharap apapun dengan mimpi kita. Saat ini, mimpi ataupun kenyataan bagi kita tak ada bedanya. Sama saja.

Kita bisa memilih kenyataan, tapi kita tak bisa memesan mimpi, seperti kita tak juga bisa menghindarinya. Maka biar saja mimpi itu terbit, mengembara dalam kamar-kamar jiwa. Dan kita tak bisa membelokkan ke mana arahnya. Kita tak bisa memiliki kendali atasnya.

Mungkin kenyataan antara kita tak masuk logika. Tentu saja, maka tak usah dipikirkan karena inilah mimpi, tapi bukan juga imajinasi.

Teruslah tidur kalau kau mau, biarkan mimpi itu menyunggingkan bibirmu mengulas senyum. Biarkan jiwamu yang menyanyikan nada-nada mimpi. Karena otak saat ini tengah rehat.

Esok hari mentari tetap akan bersinar sekalipun mendung membatasi.

19 August 2011

RINDU INI

Akhir-akhir ini, makhluk yang bernama rindu rajin sekali mengunjungiku. Pagi hari dia membangunkanku, siang dia datang lagi menemaniku, malam dia menanarkan mataku serupa penampakan.

Bukannya aku tak mau terusik kerinduan, karena kerinduan adalah riak-riak cinta dimana gelombangnya masih bergelora. Tak terbayangkan jika tak ada ombak kerinduan, pastilah di tengah samudra hati sana telah senyap dari gairah. Maka, aku inginmenikmatinya saja sebagai interlude sebuah lagu.

Tapi yang membuatku nelangsa, sayap rindu itu hanya mampu hinggap di bubungan atap kamarku. Dia tak sepenuhnya bisa terisap ke dalam jiwaku. Padahal, jika rindu itu dapat kubaca sepenuhnya, mudah saja bagiku untuk mengirimkan balasannya, kepadanya yang telah mengutus rindu ini menemuiku. Ya, kerinduan itu hanya bisa merembes melewati celah-celah genteng bocor, atau kisi-kisi jendela kamarku.

Ini masalahnya. Kamu saat ini begitu jauh, hingga kedua belah tanganku tak mampu menjangkaumu dalam rengkuhan. Padahal malam-malam ini begitu dingin, dan kamu pasti butuh pelukan.Padahal malam tadi begitu cerah, hingga gemintang menampakkan dirinya, kolosal sekali. Dan kamu pasti butuh diriku untuk menghitung jumlahnya.

Tapi sudahlah, kita telah sama-sama sepakat memilih rindu untuk mewakili cinta yang sebenarnya. Selama kita saling percaya bahwa rindu yang kita kirimkan takkan pernah menjadi hampa dan sia-sia, selama itu pula rindu ini akan teduh dan menyejukkan, bukan membakar seperti cemburu. Kita telah sepakat juga untuk hal itu.

Kusdar, aku tak bisa menemani kamu terbang karena banyak hal. Bagaimanapun sepinya diriku, juga dirimu, ingin kukatakan padamu,

“Kulepaskan kamu untuk terbang sejauh yang kamu yakin bisa jangkau. Dan di sini, akan kubangun sarang yang tenang dan hangat untukmu, untuku, untuk kita.”


20 June 2011

Aku, Dia Dan Bintang

Aku tak bisa berkata tidak ketika cinta menemuiku saat itu. Dia kabarkan padaku bahwa dia berjanji untuk merengkuh jiwaku, menyemai gairah yang selama ini terlupakan dan hampir mati.

"Aku suka pantai... aku suka laut. Kamu bisa hirup aromanya kan? Tahu nggak, angin yang kaya, lautan yang luas, matahari yang melimpah, membuatku merasa bebas..."
Dia terpekik kecil sambil merentangkan kedua tangannya seperti menyambut pelukan. Matanya terpejam, bibirnya menyimpulkan senyum.

Ah, betapa Tuhan menciptakan perempuan ini begitu indahnya, lalu jika dipadukan dengan suasana pantai senja itu, sungguh aku ingin sekali menuliskan sebaris puisi untuk kemudian kulagukan dengan melodi yang indah.

Aku biarkan dia menggumuli kedamaian dan kebebasan yang sedang dipeluknya. Seperti seorang ayah yang memandang takjub buah hati pertama yang baru saja dilahirkan, kupandangi wajahnya dengan penuh pesona. Kukagumi garis wajahnya yang membiaskan cahaya tanpa dosa.

"Pulang yuk...! Sebentar lagi malam..." ajakku setelah mengusap rambut di kepalanya seperti mengusap kepala anak kecil.

Dia mengangguk , dan kami bergandengan tangan menyusuri pantai yang memerah karena bias jingga senja, dan sosok kami melukiskan siluet, sementara jejak kaki kami di pasir mengular membuntuti kami.

Laut sedang pasang ketika kami tiba di dermaga sehingga kaki-kaki kami bisa menyentuh air saat duduk di tepi dermaga yang diapit dua pohon nyiur. Hening, hanya suara riak kecil ombak, nyanyian daun pepohonan dan kepak sayap camar yang terbang pulang.

Matahari baru saja meredupkan cahayanya, tenggelam dalam pelukan cakrawala. Perlahan, cahaya bintang mulai berpendar berganti memberikan sinarnya.

"Aku suka malam..." kataku.

"Kenapa? Aku lebih suka siang, lebih suka mentari..."

"Malam memiliki bintang, dan bagiku kamulah bintang. Bintang dalam hatiku. Aku bisa puas memandangnya saat malam seperti ini. Dan jika cinta adalah bintang, aku inginkan malam berjalan lebih lama, agar akau bisa tetap bersama cahayanya."

Dia menatapku, aku balik menatap bening samudra di matanya. Kurengkuh bahunya, dan kurebahkan kepalanya di bahuku. Lalu kubisikkan kepadanya,

"Tapi aku juga suka matahari, kamu suka menyebutnya mentari. Dia memberikan sinarnya sehingga bintang dapat bercahaya."

"Dengan tulus..."

"Ya, dengan tulus. Tanpa matahari, bintangpun akan mati. Aku mau jadi kedua-duanya. Bisa memberi dengan tulus, bisa menerima dan membagi cahaya."

Dia merepatkan pelukannya di pinggangku.

"Kamu suka laut?" tanya dia memecah kesunyian.

"Aku suka gunung..."

"Kenapa?"

" Sejuk, hijau dan di puncaknya akupun bisa meretas kebebasan. Ya, seperti kamu menikmati kebebasan saat di pantai."

Matanya terpejam, kepalanya terbenam di dadaku. Kaki kecilnya berayun-ayun dari bibir dermaga, menciptakan kecipak air.

"Aku menikmati saat-saat dengan kamu, di manapun kamu mengajakku," desahnya.

"Ya, denganmupun aku bisa belajar menyukai pantai. Karena lautlah yang memberikan uap airnya dan kemudian menyirami gunung dengan curahan hujan."

"Dan gunung menjernihkan airnya, lalu mengalirkan kembali ke pantai."

"Dengan ketulusan dan kasih sayang...."

"Aku mau jadi kedua-duanya...." bisiknya pelan.

Kemarin , cinta memperkenalkan perempuan ini ke dalam hatiku , dalam sekejap. Ya, begitu saja. Hingga sekarang aku menyadari betapa aku mencintainya, menyadari bahwa aku telah menumbuhkan benih kasih yang cinta berikan. Dan aku tak bisa membayangkan jika dia harus tercerabut dari hatiku.

"Aku menyayangi kamu setulusnya, dan aku juga menyayangi diriku sendiri karena diriku telah berani mencintaimu." Kuyakinkan padanya bahwa dia telah menggenggam separuh hatiku.

"Aku mau jadi dirimu yang tulus memnerikan cinta, aku mau jadi diriku yang bahagia dicintaimu."

Malam terus beranjak, kaki-kaki kami melangkah menjauh meninggalkan dermaga, untuk satu hal. Akan kami bagi lebih banyak cerita.

Aku menoleh sejenak memandang bintang dan tersenyum. Kini aku telah memiliki bintangku sendiri, seorang yang saat ini kugenggam tangannya, kubimbing menuju satu janji.

05 May 2011

Bait 2 - Pisau Lipat


Matahari merah tembaga, seperti bara ujung rokok yang sedang dihisap. Semburatkan cahaya jingga berselaput mega serupa asap yang mengepul. Sebentar lagi, matahari tinggal separuh. Biasanya cahayanya akan digantikan pijar lampu-lampu jalan, yang menyala dengan sendirinya, tanpa ada yang menyalakan saklarnya.

Pikiranku melayang ke masa SMP. Guru elektronikaku pada saat itu menjelaskan bahwa lampu itu dilengkapi sensor elektronik yang akan mendeteksi cahaya. Saat sensor itu menangkap kegelapan, secara mekanis sensor akan memicu konduktor yang akan mengalirkan arus listrik. Maka lampu akan menyala.

Bersama teman-temanku saat itu, kami mempelajari dan mempraktekkannya, dengan sirkuit yang kami buat sendiri melalui skema yang diberikan guru elektroniku itu. Ah, aku tersenyum kecut. Itu sudah berlangsung lama sekali, saat aku baru menginjak remaja, saat pikiranku –dan teman-temanku juga –masih dipenuhi pengharapan yang besar akan kehidupan yang menggairahkan, akan janji-janji dan pujian yang ditebar negeri ini.

Aku menekuri diriku sekarang. Pisau lipat masih dalam genggamanku, basah karena keringat yang membanjiri telapak tanganku. Gelisah menunggu sesuatu. Antara gelisah dan geram. Pandangan mataku serupa cahaya merah, seperti darah yang mengalir cepat di balik kulitku. Deras, lantaran jantung memompanya dengan cepat.

"Cinta satu malam, oh indahnya"

Suara nyanyian yang keluar dari radio butut dari dalam warung kopi dimana di atas bangku terasnya pantatku mendudukinya. Aku masih mengamati bangunan di seberang jalan. Dengan pisau lipat dalam genggaman, dengan pandangan yang berwarna merah.

"Cinta satu malam, buatku melayang"

Kebahagiaan hidupku hinggap seperti kerjapan mata, seperti cinta satu malam di antara kemuraman sepanjang tahun. Tetapi aku bersyukur. Jangan kau kira tidak!

Seorang penjual tape keliling berwajah kocak bersiul-siul pulang memikul keranjang bambu yang bobotnya sudah menjadi lebih ringan, karena hampir habis terjual. Dan tanganku masih menggenggam pisau lipat yang berkilat-kilat ketika kuperiksa ketajamannya.

Tadi pagi, saat berangkat dari rumah, kukira sore ini aku akan duduk di atas sepeda motorku yang melaju santai dengan siulan yang riang, dengan tatapan mata penuh warna. Mungkin mirip dengan bapak penjual tape tadi.

Aku masih mengkhayalkan itu ketika sebuah mobil keluar dari gedung di seberang jalan. Gedung angkuh yang sedari tadi aku amati sejak masih ramai, sampai sepi berselimut gelap, sekarang ini. Dengan memperpanjang isapan terakhir, rokok aku banting kemudian aku injak. Dadaku bergemuruh lantaran berdebar-debar.

*****
Debaran jantung, bagiku sudah tak memiliki rasa, hambar. Hanya seperti gatal kecil di ujung hidung yang akan beres dengan sekali garuk. Telah lama aku akrab dengan debaran jantung.

Dia kerap mengunjungiku, dan intensitas kedatangannya akan semakin sering menjelang ketika akhir bulan tinggal beberapa hari. Hanya, aku trauma dengan suara motor yang berhenti di depan rumah. Seperti buronan yang bersembunyi dalam toilet pasar, sementara massa memburu dengan pentungan, preman berhamburan dengan celurit dan badik, serta aparat melacak dengan menenteng pistol.

Padahal massa hanya mengejar seekor kucing garong yang menggondol ikan pindang dari bakul Mbok Yem. Padahal preman hanya sedang melarikan diri karena dikejar aparat karena baru saja terlibat tawuran memperebutkan daerah kekuasaan. Dan padahal... padahal motor yang berhenti di depan rumah hanya akan menanyakan alamat.

Tapi aku, tetap saja berdebar. Sudah seringkali pengendara motor yang berhenti di depan rumah menggedor-gedor pintu dengan nada :

"Hei.... buka pintu! Aku tahu kamu ada di dalam! "

Lalu aku menciut dalam intimidasi cecunguk demi cecunguk yang berangasan, atas nama tugas dan pekerjaan. Atas nama target.

Lalu, saat di jalan, aku trauma dan gentar dengan pengendara-pengendara motor berbadan tinggi besar, berjaket kulit, bersepatu kulit mengkilap dan menyandang tas kerja warna hitam, beberapa di antaranya telah berwarna semu merah saking bututnya.

Lalu, di warteg aku kembali bergidik duduk di atas bangku yang dikerumuni mereka. Dengan menu yang sama denganku, mereka mengunyah nasi campur murah meriah. Hanya, rokok yang mereka isap berbeda. Mereka hanya membakar lintingan tembakau mahal, dengan merek bergengsi.

Aih,... ternyata mereka sebetulnya sama berhematnya denganku. Itu berarti sama miskinnya denganku. Maka jelas, kapitalisme telah menghadapkan golongan yang sama-sama miskin untuk berkonfrontasi. Satu pihak mengintimidasi, sementara pihak lainnya terintimidasi. Sedemikian rupa, sehingga yang terintimidasi tersuruk-suruk, pontang panting tanpa tempo sedikitpun, demi memberikan poin dari target yang dibebankan oleh cecunguk di atasnya.

Mereka ini yang direkrut untuk mengatakan :

“Tidak bisa..!”

“Harus sekarang, ya harus sekarang, besok sudah susah untuk menembus sistem”

Mereka itu haruslah bergelar sarjana, agar fasih mengucapkan istilah-istilah rumit. Bukankah yang harus diintimidasi juga masyarakat kelas kambing yang mudah dibohongi lantaran congek dan tak pernah kenal kata kelas atas? Kalaupun mereka menemukan kaum intelek, mereka harus bisa main gertak dengan istilah-istilah yang makin kisruh lagi.

Namun herannya, jika sudah tersuruk ke sudut, dimana mereka tidak bisa lagi berlari atau berkelit, mereka mengandalkan ilmu dari jaman purba. Inilah yang akhirnya mereka pilih, tinju mereka bisa melayang ke mana saja. Bukankah ini cara purba yang hanya dilestarikan oleh binatang? Anjing!

Sementara mereka yang berhati baik, jujur, memiliki nurani? Tertatih tatih menapaki lantai kantornya, kemudian tejengkang ke luar terlibas kegagalan memenuhi target.

*****

Mobil itu masih menunggu celah untuk memasuki jalan, ketika aku bergegas menghampirinya, dan menggedor jendela pengemudi. Ini orang yang aku tunggu dari siang hingga sore. Tanganku masih menggengam pisau lipat. Kemudian kutarik dompet dari saku celana belakangku. Kuambil rokok terakhir yang telah gepeng dalam lipatan dompet.

Pagi tadi, aku berangkat dengan serantang nasi dengan lauk telur dadar yang dimasak istriku untuk bekal makan siang. Ditambah tiga batang rokok. Satu untuk teman minum teh awal bekerja, satu jatah sehabis makan siang dan satu lagi rokok terakhir sore hari.

Rokok pertama telah aku hisap sewaktu menunggu antrian. Rokok kedua bukan menjadi penutup makan siang, karena rantang nasiku entah ke mana. Kunyalakan rokok terakhir.

“Santai saja bos! Masih ingat saya?” Orang itu melotot geram. Pasti dia masih ingat aku.

“Hei...! Masih ingat saya?” Ulangku sambil menghunus pisau lipat sambil tetap tenang menghisap rokok, seperti layaknya pembunuh yang telah berkali-kali meregangkan nyawa banyak orang. Orang itu menciut gemetar.

Siang tadi aku datang ke kantor ini ini untuk membayarkan angsuran sepeda motorku. Ada tunggakan satu kali, dan bulan ini belum jatuh tempo. Kasir menolakku ketika aku akan membayarkan satu kali angsuran. Seperti pesakitan, aku diminta menghadap orang yang sekarang dalam todongan pisauku. Tanpa kesempatan sedikitpun bagiku untuk membela diri, aku diminta menandatangani selembar kertas yang aku tak tahu apa isinya, karena aku tak boleh membacanya.

“Saya pinjam STNK dan kunci motor anda.” Kata orang itu siang tadi.

“Harus kami cek dulu kondisinya.”

Aku yang merasa tidak pernah merubah sedikitpun spesifikasi motorku, menyerahkannya tanpa kecurigaan apapun.

“Sesuai aturan dan perjanjian, motor anda titipkan dulu kepada kami, dan bisa diambil kalau anda membayar satu angsuran lagi.”
Aku kaget.

“Setengah jam lagi saya kembali, saya bayar dan motor saya ambil kembali, sesuai dengan yang bapak katakan tadi.”

*****

Bangsat! Orang tadi tak bisa aku temui. Padahal aku sudah membawa uang sesuai yang dia minta. Teman-teman sekantornya tak bisa memberikan keterangan di mana dia berada. Sementara merekapun tidak mau menanggapi urusanku.

“Saya sedang di luar kota, silahkan anda ambil motor anda kalau anda sudah melunasi secara keseluruhan sampai lunas.” Si bajingan itu berkata setelah aku berhasil meminta nomor ponselnya dari seorang karyawan yang tampaknya bersimpati kepadaku. Sampai lunas? Bukankah yang dia minta tadi satu kali angsuran lagi?

*****

“Tampaknya luar kota itu masih di dalam kantor kamu ya?” Kataku sambil menghembuskan asap rokok ke mukanya.

“Aku datang tadi pagi dengan iktikad baik untuk memenuhi kewajibanku, tapi kamu memang tengik. Apa yang kamu makan tadi pagi? Bangkai bayi? Atau mungkin kamu makan juga bekal makan siangku? Dasar cecunguk! Kalau anak buahmu yang mencegatku di tengah jalan, kemudian merampas motorku karena aku mangkir dan susah ditemui, itu baru hak kamu.”

Kukira, orang ini lebih busuk daripada pesuruh-pesuruhnya yang berkeliaran di jalanan dan hinggap dari rumah ke rumah seperti pengemis. Karena dia orang yang menyuruh lelaki-lelaki tinggi besar berjaket kulit merebut motor-motor orang kecil tanpa peduli kesusahan yang dialami pemiliknya.

“Anda sudah menandatangani perjanjian dulu, lalu siang tadi, maka itu yang kami lakukan...” Lalu mulut bejatnya bicara panjang lebar berbui-buih hingga lidahnya menjulur-julur meneteskan liur yang baunya serupa kubangan babi. Najis.

“Kamu tidak sedikitpun menghargai iktikad, apalagi kesusahan orang. Apa kamu peduli itu? Yang kamu pentingkan hanyalah kedudukanmu, perutmu sendiri yang kuyakin dipenuhi belatung. Oh oh oh, kuyakin itu tak menjadi masalah buatmu. Biar perut kamu busuk dan mulut kamu bau comberan, yang penting bos kamu menganggap kamu berprestasi. Atau jangan-jangan itu masuk kantong kamu sendiri?”

Kudekatkan pisau lipatku ke lehernya. Pasti dulunya dia pernah di jalanan juga, seperti cecunguk-cecunguk di bawahnya. Karenanya dia mencoba melawan, hingga pisau menggores sedikit lehernya.

Aku yakin, aku harus membunuhnya. Tapi bagaimana dengan anak istrinya? Aku juga yakin mereka akan bertangisan di samping jasad yang telah kurobek jantungnya. Aku ragu. Tapi pasti ini akan menyelamatkan keluarganya dari makan makanan kotor, yang dibeli suami dan ayahnya dengan uang haram, dengan keringat dan air mata orang-orang sepertiku. Atau air mata darah seorang kakek yang bersamaku tadi siang juga mengalami nasib serupa, saat dia meminta surat pengantar untuk perpanjangan STNK motornya, sementara sang kakek memiliki tunggakan satu kali. Biadab!

“Atas nama diriku, dan kakek-kakek yang tadi siang kau zalimi, aku harus menghabisimu.” Nada bicaraku agak bergetar, pandangan mataku menjadi semakin merah. Pekat. Aku belum pernah membunuh. Bagaimana bisa aku membunuh, sedangkan dengan kekerasan sedikit saja aku takut bukan kepalang.

Tapi aku percaya bisa menikam jantung bajingan ini, meskipun aku tak percaya aku bisa berbuat kasar. Tapi persetan dengan keyakinan itu, karena dulu aku juga tak percaya apakah orang bisa sedemikian licik seperti anjing ini. Seperti halnya aku percaya bahwa orang harus selalu optimis, segala hambatan pasti akan ada jalan keluarnya. Tapi nyatanya, aku kerap dibohongi oleh optimisme, oleh keyakinanku sendiri. Konyol!

Segala cobaan pasti ada hikmahnya. Hahaha, itu hanya penghiburan. Nyatanya, aku sering terjerembab, tersungkur karena cobaan, sementara hingga kini aku masih mengais-ngais hingga jari-jariku berdarah, di manakah hikmah yang kalian maksudkan, hah?!

Ya, aku yakin akan menghabisinya, tidak ada alasan lain, orang seperti ini harus dilenyapkan. Tanganku yang menggenggam pisau tajam itu langsung menusuk, dan merobek. Tapi bukan di jantungnya atau bagian tubuhnya, melainkan jok mobil yang dikemudikannya. Aku tak bisa membunuh. Tapi aku ingin.

Melihat aku merobek jok mobilnya denga pisau lipatku, orang itu mengira tikamanku meleset dari yang seharusnya ke dadanya. Maka dia berusaha menginjak gas mobilnya, berusaha melarikan diri. Aku kalap dan mengejarnya, lalu berdiri tepat di depan moncong mobilnya dan kemudian menikamkan pisauku lagi di atas kap mobilnya. Entah emosi atau kalut, bajingan itu menginjak kembali gas mobilnya.

“Krek...” Ada sebuah bunyi dari pinggangku, lalu aku terkapar di tepi jalan di depan moncong mobil. Pinggulku retak dihajar bumper Kijang, ya mobil cecunguk itu.

Seketika orang berlarian ke arah kami. Orang-orang itu lalu menarik bajingan itu ke luar dari mobil. Pukulan, tendangan, pentungan dan entah apa lagi menghujani orang itu.

“Hajar terus keparat ini!” Teriak seseorang.

“Bantai! Mentang-mentang kaya, naik mobil seenak pusernya sendiri!”

“Hajar biar tau rasa!”

“Rasain nih...!”

Tidak ada yang memperhatikanku yang terkapar nyaris pingsan. Mereka terlalu sibuk menghajar keparat itu, juga mobilnya. Hingga antara sadar dan tidak karena rasa sakit yang luar biasa di pinggangku, yang membuatku mati rasa dan beku dari pingang ke bawah, sebuah bayangan menghampiriku, secepat kilat.

Sosok tubuh itu tinggi besar, berpakaian serba putih dengan kulit yang bercahaya, menyilaukan. Sosok ini memeluk pinggangku dengan sebelah tangannya, seperti menenteng selembar handuk, ringan sekali. Kemudian melesat secepat kedipan mata. Membumbung ke atas melewati pucuk-pucuk pohon mahoni peneduh jalan.

Kulihat keparat yang tadi dihajar masa sudah layu, menggelesot seperti cucian basah dengan bertumpu pada kedua lutut, kepalanya terkulai pada ban depan yang berada pada posisi membelok, sementara tangannya terkulai ke tanah. Mobilnya ringsek, seringsek wajah dan tubuhnya. Sementara massa yang tadi menghajar mulai saling bertanya.

“Di mana korbannya?”

“Iya, di mana korban yang tadi ditabrak? Tadi dia ada di kolong sini.”

Demi mendengar sirine mobil polisi, mereka menghilang. Sepi. Hujan mulai turun, membuat tanah memerah karena darah. Darah yang harus tumpah karena amarah. Amarah yang harus menggelegak karena serakah.

Aneh, bersama sosok yang menggendongku, aku tak merasakan rintik hujan. Aku dibawanya melesat, sejajar dengan lampu-lampu jalan yang padam satu per satu seiring dengan kelebat sosok yang membawaku. Setengah sadar aku sempat berpikir. Mungkin karena benderang putih sosok ini, sensor lampu mengartikannya sebagai sebuah cahaya yang dikiranya siang, hingga lampu mati. Atau mungkin sosok ini memiliki gelombang frekuensi yang mengacaukan sistem otomatis lampu. Ah, mungkin juga lampunya memang sudah harus diganti.

Sosok ini membawaku semakin jauh, ke padang luas yang kesemuanya berwarna hijau. Seperti siang hari, tapi kesejukannya seperti pagi hari, sedangkan keheningannya seperti malam hari. Aku ternganga terkulai dalam pelukan sosok yang tanpa henti berkelebat semakin jauh.

“Apakah aku sudah mati?” Aku bertanya kepada sosok yang menentengku.

“Di manakah aku? Apakah aku sudah tak berjasad lagi?” Aku berusaha melirik ke tubuhku. Karena aku tak merasakan lagi rasa sakit di pinggulku yang tadi remuk.

“Kalau aku sudah mati, lalu kemanakah kau akan membawaku? Surga, atau neraka?”
Namun sosok itu masih tetap saja diam. Yang dilakukannya hanyalah terbang, dan terbang sambil terus memelukku erat.

*****

Bukan aku yang membunuh manusia zalim keparat tadi sore. Tapi secara tidak langsung aku harus bertanggung jawab. Apa dayaku, kukira akupun sudah mati. Mati dalam pertaruhan membela martabat dan harga diri. Apakah aku berhak menyandang mati syahid karenanya?

Optimismeku yang kupelihara di dunia ikut ke sini. Tapi betulkah optimismeku di akhirat tak akan dibohongi, seperti halnya optimismeku di dunia yang selalu mangkir memberikan solusi?
Kecuali tadi sore dimana jiwaku berhasil memberontak, di dunia aku terlalu sering pasrah. Sekarangpun aku hanya bisa pasrah. Itu jalan yang biasa kuambil ketika segala kewajiban sudah kutunaikan tetapi apa yang menjadi hakku tak kunjung kuterima.

Sosok putih bercahaya masih saja berkelebat. Tangannya erat memelukku pinggangku. Mungkin dia hanyalah pendekar sakti yang mencoba menyelamatkanku dari kesakitan dan keletihan hidup?

Tapi ya, aku lelah. Letih.

Lamat-lamat kudengar sebait tembang macapat yang sering disenandungkan nenekku saat aku kecil ketika malam menjelang tidur sambil mengusap-usap kepalaku. Pucung.

"Angkara gung, neng angga anggung gumulung
Gegolong nira, triloka lekere kongsi
Yen den umbar ambabar dadi rubeda"


(Sifat angkara murka itu berada di dalam pribadi, Sesuai dengan tingkatan Anda, Ia meliputi tiga dunia, Bilamana dibiarkan, akan mendatangkan malapetaka)
Letih, semakin letih, membuatku mengantuk , seperti bayi dalam buaian sambil menghisap puting ibunya.

Aku lelah, aku ingin tidur. Pasrah, kapanpun dan dimanapun aku akan bangun.

Awal April 2011

28 April 2011

Bait 1 - Pinjami Aku Jiwanya

Bukan dingin, hanya sejuk. Adem, ketika hujan sore hari membasuh bumi yang bersukacita menyambut tetes-tetesnya, ketika sekawanan anak kecil berlarian. Riang ke tanah lapang.

Mereka bercanda, berkejaran, saling tertawa lepas, seperti bunga mataharai siap mekar yang berayun disaput titik-titik hujan. Semuanya di depan mataku.
Harus kuakui, aku iri kepada mereka yang kini sedang berloncatan di atas rerumputan basah serupa karpet lembut mengalasi kaki-kaki kecilnya.

Ah,... andai saja dapat kupinjam jiwa mereka, sebentar..... saja. Sedetikpun tak mengapa, asal dapat kurasa hatiku kembali remaja, belia.

Tolong pinjami aku jiwamu, hingga kurasa ruh yang menopang ragaku cukup perkasa kembali menegakkan bahu dan punggungku. Bolehkah kupinjam sejenak jiwanya, sesaat saja? Sedetikpun sangat membantu bibirku tersenyum.
Agar kutahu bagaimana rasanya dicemaskan ketika tak nampak bayanganku memasuki pintu pagar saat senja beranjak. Agar kuingat kembali bagaimana aroma citarasa harapan, ketika sekarang ini aku merasa waktu dan kesempatan telah melarangku memiliki cita-cita.

Bolehkah kupinjam kaki mereka, agar aku dapat melangkah mengambil satu mata angin atau berbelok ke mana saja aku mau. Bolehkah kupinjam tangannya, agar dapat kutorehkan warna apapun yang kusuka. Bolehkah kupinjam bening bola mata mereka agar dapat kulihat dan kupilih bintang manakah yang akan kuraih?

"Pulanglah dik... ayah ibumu menunggu kalian. Pasti mereka cemas akan diri kalian."

"Sebentar saja lagi kak, kami masih ingin bermain."

Lalu hujan semakin deras. Gelegar petir akhirnya membuat mereka untuk melangkahkan kaki. Pulang. Sebagian dari mereka mungkin akan kena marah orang tuanya. Andai saja itu terjadi padaku, pasti kurasa itu akan jauh lebih baik, karena kutahu itu adalah cinta. Setelah itu, pastilah meraka akan didekap dalam pelukan dan selimut tebal yang hangat.

Dan cinta terbiasa bicara dalam banyak bahasa. sering terdengar lembut, merdu berirama, terkadang membuai. Tak jarang cinta juga berbicara dalam nada dan bahasa yang tak bisa dipahami, seperti hasrat atau bahkan kemarahan, serupa kemarahan orang tua terhadap anaknya lantaran terlalu banyak bermain hujan-hujanan.

"Kami mencintaimu, kami tak ingin kehilanganmu. Maka jangan bermain hujan-hujanan. Kami khawatir kamu jatuh sakit." Ketika aku dewasa, baru kutahu bahwa itulah tafsir kemarahan orang tua. Karena cinta? Aku percaya, iya.

Maka karena cinta jugalah aku tak ingin orang tuaku tahu meski aku terluka, terjerat atau bahkan sekarat. yang kutahu, hanya itu balasan atas cinta mereka, yang bisa kuberikan selain beberapa kebanggaan yang pernah kumahkotakan, dulu.....sekali.

Aku tak dapat meminjam jiwa anak-anak tadi. Sama seperti aku tak dapat mengubah aliran air dari laut naik ke pegunungan, dar hilir menuju hulu. Sama seperti mustahilnya kutanam pohon terbalik, dahan dan rantingnya menghunjam tanah dan akarnya menjulang ke langit. Sama tidak mungkinnya dengan keinginanku untuk memutar kembali sang waktu dan kutambal semua lubang karena kesalahan.

Kini aku di sini. Tak adakah lagi harapan? Kakiku perih, tersayat jalanan, hingga guyuran hujan membenamkan mata kakiku dalam genangan yang memerah karena darah. Tapi aku masih harus dipaksa melangkah. Tanganku melepuh, dipaksa bekerja siang malam, tak ada waktu untuk membalutnya dan beristirahat. Bahuku bengkak, punggungku bengkok, terbebani hidup... dan juga dosa.... yang menghitamkan mukaku.

Ah.... dadaku sesak. Kurentangkan kedua tanganku, sementara kepalaku menengadah. Mataku terpejam, tak mau lagi kubuka. Aku tak mau melihat parade mimpi. Karena jangankan mimpi, harapanpun seringkali menghianatiku, membohongiku mentah-mentah.

"Semua omong kosong...!! Bulshit...!!!"

Lalu aku berteriak sekuat nafasku, menantang semuanya.

"Kenapa? Meski telah banyak dosa yang kuperbuat, sedemikian bencikah kalian kepadaku? Sampai-sampai kalian selalu bersekongkol untuk menjegal setiap langkahku mengejar mimpi? Apalagi yang akan kalian perbuat hah.....?! Membuatku mati? Merenggut jantungku? Menghajar pikiranku hingga aku tak dapat lagi berpikir dan berharap?"

Mereka, hujan itu, angin itu, petir itu berbicara sendiri-sendiri dengan bahasa yang tak dapat kumengerti. Atau mungkin saja merekalah yang tak mengenal apa yang aku ucapkan.

"Hahahahaha....." Aku tertawa keras, seperti orang yang sudah tidak waras. Aku tak dapat lagi menangis karena rasa sakit. Aku hanya bisa menangis ketika melihat kebaikan dan ketulusan.

Itu lebih baik bagiku. Tetapi mungkin lebih baik lagi kuterus tertawa tanpa alasan. Agar gerombolan orang yang mengejarku dengan pena, dengan secarik kertas, dengan tinju dengan parang, celurit dan pistol berbalik arah.

"Sia-sia saja mengejar-ngejar tanggung jawab kepada orang yang sudah gila..." Tak mengapa seandainya akhirnya mereka ucapkan kata-kata itu padaku, ditambah beberapa tembakan ludah, cukuplah.

Atau sebaiknya kulawan saja mereka dengan tanganku? Agar tinju mereka melayang di wajahku, parang menebas pinggangku, celurit menjerat leherku atau pistol menyalak, melesatkan peluru yang menembus jantungku. Lalu aku mati,.....dan....selesai.

Aku letih. Hujan masih belum berhenti. Di sebuah rumah sederhana, seseorang menyalakan api unggun di tengah ruangan yang kosong, tak lagi berisi perabotan apapun.

Secangkir kopi telah diseduh dan disiapkan. Mungkin untukku.
Sehelai sarung, baju koko dan kopiah telah dijejerkan. Mungkin untukku.
Sehelai handuk kering telah disampirkan di pegangan pintu. Mungkin untukku.
Beberapa lembar kain tengah diguntingnya. Mungkin untuk membalut lukaku, seperti biasa.
Selembar tikar telah digelar di sisi api unggun yang hangat. Mungkin untukku, dan dia.
Sekerat hati telah dibuka dan dihangatkan dalam jiwanya. Pasti itu untuk mimpi-mimpi dan harapan serta rencana yang sering kutiupkan hingga mulutku berbuih.

Bodoh sekali...! Hanya dia yang masih percaya tentang cetak biru masa depan yang akan kubangun. Namun, harus kuakui, aku masih memiliki cinta yang membekaliku setiap fajar, dan menungguku setiap senja.

Aku letih, sementara aku masih menjadi buronan.

"Entah sampai kapan..."

02 April 2011

CATATAN DIALOG BUDAYA BERSAMA EMHA AINUNNAJIB

Dalam Rangka Ulang Tahun Kota Pekalongan Ke 105

31 Maret 2011 Jam 1 siang, saat itu GOR Jatayu Kota Pekalongan diramaikan dengan Pameran Buku dengan tajuk “Pekalongan Sejuta Buku” yang berlangsung mulai 30 Maret hingga 5 April 2011.

Jika saya melangkah ke sana untuk hunting buku, itu pasti. Namu siang itu saya datang secara khusus untuk mengikuti Dialog Budaya dalam rangka Ulang Tahun Kota Pekalongan ke 105.

“KATA DENGAN KATA-KATA BERBAGI RASA MEMBANGUN MAKNA”, adalah tema yang melingkupi dialog budaya ini. Maka nuansa yang tercipta menjadi dialog yang cair, santai namu harus diakui sarat dengan makna.

Emha Ainunnajib (Cak Nun) yang menjadi pembicara dalam acara ini hadir bersama Walikota Pekalongan, dr. HM Basyir Ahmad dan juga EH Kartanegara (sastrawan Pekalongan). Cak Nun adalah Cak Nun, dia hadir dengan balutan pakaian yang sederhana, dengan kaki yang beralas sendal kulit. Dengan bungkusan tersebut, Cak Nun terasa bebas berbicara ke mana saja tanpa beban dari atribut apapun.

Maka Bung Karta tak mau kalah, hadir dengan kemeja putih yang kancingnya disematkan hingga leher, bersarung dan berpeci, mirip dengan sosok-sosok yang aku lihat dalam foto-foto jadul.


Seperti biasa, Cak Nun berbicara blak-blakan tanpa pretensi apapun. Namun ini yang membuat suasana menjadi segar. Sesuai denga tema, cak Nun memaparkan contoh-contoh kata yang sama namun berbeda makna, juga banyak kata yang memiliki arti yang sama. Semua bergantung kepada konteks kalimat dan subjek dimana kata itu melekat. Namun demikian, dengan kelakar khasnya, sebuah kata juga bisa terpeleset tetapi bermakna serupa. Seperti kata “kafir”, jika diambil huruf konsonannya saja menjadi “k-f-r” yang diplesetkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ”c-v-r” ditambah huruf vokal sana sini, akan menjadi “cover”. Kafir, yang dalam bahasa Arab bisa bermakna menutupi (kebenaran) bisa bermakna sama dengan “cover’ yang dalam bahasa Inggris juga berarti tutup.


Masih banyak olah kata cerdas yang terkuak di situ. Lalu berbicara tentang makna, Cak Nun dan semuanya sepakat bahwa Allah, dengan nama dan dzat-Nya adalah hal yang mutlak menjadi nomor satu. Allah ada di mana saja, dan di sinilah kita bisa memanggil Allah dengan “Engkau”, “Dia” atau bahkan “Aku”.
  • Ada di depan kita, manakala kitasedang shalat atau berdoa. Maka tak ada orang yang memalingkan muka saat melakukan shalat atau berdoa. Karena Allah ada di hadapan kita. Karenanya kita menyebul Allah dengan Engkau.
  • Allah melihat kita, meskipun kita tak melihatnya. Saat itu, bisa jadi kita sedang beraktifitas, bekerja. Maka, Dia mengawasi kita.
  • Saat sedih, Allah menjadi Aku. Untuk hal ini, tentu saja Cak Nun tak perlu berpanjang lebar menguraikannya dalam dialog seperti ini.
Cak Nun adalah Cak Nun, dia memiliki kata-kata yang bisa menuju ke mana saja, namun ada perenungan di baliknya. Untuk hal ini, dia berbicara tentang betapa penyakit bangsa ini sudah sedemikian parah. Tak ada seseorangpun yang mampu memberikan obatnya.

Jika dalam penyakit medis, sebuah kasus tak bisa disembuhkan dengan cara apapun, maka Allahlah yang akan menyembuhkannya. Dalam konteks negeri ini, kiranya penyakit yang menggerogoti pertiwi ini sudah menjadi penanganan Allah. Allah yang akan memulihkannya, dengan syarat masing-masing individu melakukan self healing, berbuat baik pada diri dan keluarganya.


Demikian parahnya penyakit yang bernama korupsi di negeri ini, secara kelakar Cak Nun pribadi berseloroh bahwa :

“Silahkan saja para penguasa melakukan korupsi sekehendak hati mereka, sebanyak apa yang mampu diambilnya. Hanya ada satu permintaan, jangan persulit rakyat, jangan sakiti rakyat. Itu saja sudah cukup.”


Dari kesemuanya, ada satu hal yang peling membuat saya begitu terkesan.

Sehari menjelang gempa Jogja saat itu, Cak Nun mengirimkan untaian kata yang berasal dari Rasul untuk anak-anak Kyai Kanjeng, kelompok seni budaya yang dipimpinnya.
Dalam bahasa Indonesia, kurang lebih kata itu bermakna :

AKU RELA MENJADI APAPUN, BERTAKDIR BAGAIMANAPUN, SEMENDERITA APAPUN JIKA ALLAH INGINKAN. TAPI JANGAN JAUHKAN AKU DARI KASIH SAYANGMU.


Banyak orang yang tidak rela bernasib jelek, menderita, tersiksa. Banyak orang yang mengejar kesenangan, kemewahan, kekayaan sampai terkencing-kencing. Namun tak peduli dengan kasih sayang Allah. Padahal manusia hanya wajib menjalani kodratnya untuk berusaha, ikhtiar.

Kasih sayang Allah (mudah-mudahan kita mendapatkannya) melebihi apapun jika kita mendapatkannya. Semiskin apapun kita. Semua bagai tak memiliki arti lagi di mata kita.

Bandingkan denga jika kita tidak disukai Allah, kapan saja waktunya tiba kita akan lebih menderita. Semua pasti tak memiliki arti lagi di mata kita. Mungkin juga di mata Allah.


Rangkaian kata yang menyentak saya saat itu.
Kenapa saya tidak memulai untuk lebih bersyukur, agar Allah sudi memberikan cinta-Nya?

30 March 2011

Cinta Tumbuhkan Sayap


Seorang anak kecil berkata :

Katakan aku bisa, dan aku akan bangkit berjalan


Katakan aku kuat, dan aku akan mengendong ibuku yang telah mengandungku


Katakan aku pintar, dan aku akan membaca semua yang dapat kubaca

Katakan aku manis, dan aku takkan lagi merengek

Seorang remaja pencinta berkata :


Katakan kau mencintaiku, dan aku akan memberikan lebih banyak cinta


Katakan kau mempercayaiku, dan aku kan melekatkan setia dalam jantungku

Katakan aku hebat, dan aku akan memetikkan rembulan

Katakan aku hangat, dan aku akan merengkuhmu dalam pelukan sepanjang malam

Katakan aku romantis, dan aku kan menulis ribuan puisi

Seorang suami berkata :


Katakan aku mampu, dan aku akan memikul seluruh tanggungjawab


Katakan aku bijak, dan aku akan mencerna semua kemarahanmu


Katakan aku tampan, dan aku takkan melihat keindahan lain selain dirimu

Katakan aku kuat, dan aku akan menanggung semua beban

Hanya cinta yang dapat mengatakan apa yang tak terkatakan, meski tanpa kata terucap.
Hanya cinta yang bisa menumbuhkan sayap di kedua belah punggung, lalu membawanya terbang sejauh dan setinggi mungkin, bahkan yang tak disangka dapat dijangkaunya.

Hanya cinta yang bisa mengartikan kasih yang terucap. Terkadang dia sembunyi di balik labirin hati, yang bahkan tak dapat dibaca oleh pemilik rasa itu.
Terkadang cukup dengan tatapan mata, sentuhan tangan atau secangkir teh hangat di pagi hari.
Cinta dapat memberi tanpa disadari. Cinta dapat menerima lebih, meski tanpa pengharapan. Seperti yang mereka katakan (anak kecil, remaja pencinta dan suami atau istri), cinta memberi kekuatan.

04 January 2011

9 TAHUN PENUH WARNA


Hidupku adalah penggalan kisah, laksana episode-episode cerita yang habis satu per satu untuk selanjutnya beralih ke kisah lain.
Sebagian berakhir dengan bahagia, happy ending. Sebagian lainnya berakhir dengan duka, namun selalu ada makna di baliknya, orang menyebutnya dengan : hikmah.
Kepadanya, aku mengakui bahwa lebih banyak tangis yang kuberi dibandingkan tawa yang kubagi. Tapi kuberharap dia bahagia, seperti apa yang selalu kuperjuangkan.

Sangatlah penting menutup lembaran penghabisan episode dengan akhir yang terbaik. Tapi tak kalah penting bagaimana membuka lembaran cerita baru dengan penuh doa dan pengharapan.

Ini untukmu, sebuah nafas yang tertiup dari belahan jiwaku yang lain. Yang pasti aku akan mati jika kehilangan dirimu.
Denganmu, aku selalu menemukan hal-hal baru, setiap hari. Karena letupan-letupan dalam pikiranku tak cukup terang. Dan kamu, dari lisanmu selalu terpercik pemantik. Seperti lidah naga yang mengandung bara, memantik mesiu di ujung kembang api.
Tahukah kau apa yang terjadi kemudian ? Kilatan itu memicu pendar sinar terang hingga nampak apa yang tersembunyi di kepalaku. Membuat terang rangkaian huruf yang harus kutulis.

Kamu inspirasiku. Apakah aku tak berhak bahagia karenanya ?

Aku telah memutuskan untuk memilihmu untuk hidup bersamaku, semenjak aku belum mengenalmu, sejak kau tak tahu bahwa aku memandangmu. Lalu kutulis puisi tentang hidup yang ingin kujalani, kusenandungkan lagu yang membalut kebersamaan kita.

Aku tahu, aku bahagia saat kubisikkan cinta dalam hatimu. Lalu kita berbagi sebagian hati kita masing-masing. Kupercayakan sebagian hatiku padamu. Dan kaupun merelakan sebagian hatimu untuk kujaga. Tak ada yang bisa lakukan itu selain kasih sayang yang menyaksikannya. Dengannya, aku tahu bahwa kaupun memiliki kebahagiaan yang sama.

Lalu kita sering bertengkar, tentang cinta kasih siapakah yang paling besar di antara kita. Aku selalu tersenyum mengingatnya. Ah, begitu banyak warna. Dan aku tak akan menghapusnya. Karena semuanya memiliki makna. Sebermakna saat waktu menuntun kita pada sebuah siang yang disitu kuamanatkan janji.
" Berdosakah seseorang yang menyia-nyiakan amanat ? " Tanyaku kepadamu.
Dan kaupun hanya mengangguk sambil menyingkirkan helai rambut yang menutup wajahmu karena tertiup angin laut.
" Aku tak ingin menjadi orang yang berdosa. Jujur, aku memiliki beban amanat yang harus kusampaikan kepadamu. " Kataku kemudian.
" Apakah aku punya pilihan lain selain mendengarkan apa yang harus kamu katakan ? Akupun tak ingin kamu berdosa. " Untuk perrtama kalinya aku melihat kata-katamu. Bukan hanya dari bibirmu, tapu juga terbaca dari mata beningmu.
" Kau tahu ? Aku telah dititipi cinta dari sebuah hati yang mengharap balas. Sangat mengharapkan. Hingga bahagia akan menggunung ketika cinta itu bersambut. Tapi dia takkan merasa sakit sekalipun cinta itu tak menemui ratunya. "

Kukuatkan hatiku untuk mengucapkan : " Aku menyayangimu. Hatiku yang amanatkan itu. "
Hening, tapi desau angin yang menampar-nampar pucuk cemara dan juluran nyiur melagukan orkestra yang kuyakini sebagai lagu cinta.
" Aku telah menguji keberanianku untuk mengungkapkan kasih dari dalam hatiku. Jika bagimu hal itu terlalu berlebihan dan kau tak menginginkannya, katakan itu sekarang agar aku bisa segera memupusnya. Tapi, kau tak perlu jawab sekarang jika hati kita telah bertaut,....... "
" Aku tak mau menjawabnya sekarang ! " Katamu tiba-tiba.
Sesaat kutatap matamu, tak ada yang perlu kita katakan karena dalam hati kita telah terpadu janji. Hanya itu, ya hanya itu yang mebuatku melambung dan yakin akan apa yang telah aku pilih.

Mungkin hanya ada 2 hal yang aku berikan dan membuatmu bahagia. Selebihnya aku tak yakin. Mau tahu apakah dua hal yang kuyakin membuatmu bahagia ?
Pertama, saat kuikrarkan cinta di siang itu.
Kedua, hari ini sembilan tahun yang lalu. Saat kuikrarkan janji pernikahan kita di depan Tuhan. Saat semua orang menyaksikan bahwa kita saling memiliki.

Aku memang selalu berusaha untuk membahagiakanmu, tapi maafkan aku jika aku belum bisa berikan semua. Maafkan jika dalam hidup kita berdua, aku banyak membuatmu menangis. Dan Maafkan aku jika aku baru bisa memberimu mimpi. Tapi yakinlah bahwa aku tengah berusaha mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Kini, kuingin kita hapuskan semua yang menyakitkanmu, menyakitkanku. Tahukah kamu, bahwa semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kebersamaan kita, besarnya cinta kasihku kepadamu. Biarkan aku tetap memilikimu.

Mungkin, kamu sering sedih melihatku seperti tak peduli kepadamu. Kutahu aku salah bersikap seperti itu. Tapi kau juga keliru jika mengartikan itu sebagai sikap yang kutujukan kepadamu.
Mungkin aku adalah seorang yang tak pandai berkspresi secara nyata. Mungkin aku terkena titisan Alfred Riedl, Head Coach Timnas, yang selalu datar dalam menyikapi apapun. Mugkin aku tak bisa seperti Okto yang selalu mengembangkan senyum dan menari-nari saat menyarangkan gol.
Karenanya, kumohon pengertianmu.

Ah, rasanya aku tak pantas memohon, mengharap dan meminta padamu. Karena belum cukup apa yang kuberikan kepadamu. Tapi satu hal, semua yang ada pada diri kita, itu sangat-sangat membahagiakanku. Aku tak merasa ada yang kurang dalam hidup kita, meski beban banyak menghimpit kita. Karenamu, aku kuat bertahan.

Kucintai apa yang kita miliki. Yang telah kita raih. Kucintai kamu lebih dari apa yang kita genggam. Meski, Tuhan belum berikan buah hati untuk kita, kurasa Tuhan sudah berikan semua. Kuyakin suatu saat Tuhan akan berikan itu pada saat yang tepat.

I Love You So Much.

Untuk istriku,
Rias Yuliana Prasasti
9th Wedding Anniversary