04 January 2011

9 TAHUN PENUH WARNA


Hidupku adalah penggalan kisah, laksana episode-episode cerita yang habis satu per satu untuk selanjutnya beralih ke kisah lain.
Sebagian berakhir dengan bahagia, happy ending. Sebagian lainnya berakhir dengan duka, namun selalu ada makna di baliknya, orang menyebutnya dengan : hikmah.
Kepadanya, aku mengakui bahwa lebih banyak tangis yang kuberi dibandingkan tawa yang kubagi. Tapi kuberharap dia bahagia, seperti apa yang selalu kuperjuangkan.

Sangatlah penting menutup lembaran penghabisan episode dengan akhir yang terbaik. Tapi tak kalah penting bagaimana membuka lembaran cerita baru dengan penuh doa dan pengharapan.

Ini untukmu, sebuah nafas yang tertiup dari belahan jiwaku yang lain. Yang pasti aku akan mati jika kehilangan dirimu.
Denganmu, aku selalu menemukan hal-hal baru, setiap hari. Karena letupan-letupan dalam pikiranku tak cukup terang. Dan kamu, dari lisanmu selalu terpercik pemantik. Seperti lidah naga yang mengandung bara, memantik mesiu di ujung kembang api.
Tahukah kau apa yang terjadi kemudian ? Kilatan itu memicu pendar sinar terang hingga nampak apa yang tersembunyi di kepalaku. Membuat terang rangkaian huruf yang harus kutulis.

Kamu inspirasiku. Apakah aku tak berhak bahagia karenanya ?

Aku telah memutuskan untuk memilihmu untuk hidup bersamaku, semenjak aku belum mengenalmu, sejak kau tak tahu bahwa aku memandangmu. Lalu kutulis puisi tentang hidup yang ingin kujalani, kusenandungkan lagu yang membalut kebersamaan kita.

Aku tahu, aku bahagia saat kubisikkan cinta dalam hatimu. Lalu kita berbagi sebagian hati kita masing-masing. Kupercayakan sebagian hatiku padamu. Dan kaupun merelakan sebagian hatimu untuk kujaga. Tak ada yang bisa lakukan itu selain kasih sayang yang menyaksikannya. Dengannya, aku tahu bahwa kaupun memiliki kebahagiaan yang sama.

Lalu kita sering bertengkar, tentang cinta kasih siapakah yang paling besar di antara kita. Aku selalu tersenyum mengingatnya. Ah, begitu banyak warna. Dan aku tak akan menghapusnya. Karena semuanya memiliki makna. Sebermakna saat waktu menuntun kita pada sebuah siang yang disitu kuamanatkan janji.
" Berdosakah seseorang yang menyia-nyiakan amanat ? " Tanyaku kepadamu.
Dan kaupun hanya mengangguk sambil menyingkirkan helai rambut yang menutup wajahmu karena tertiup angin laut.
" Aku tak ingin menjadi orang yang berdosa. Jujur, aku memiliki beban amanat yang harus kusampaikan kepadamu. " Kataku kemudian.
" Apakah aku punya pilihan lain selain mendengarkan apa yang harus kamu katakan ? Akupun tak ingin kamu berdosa. " Untuk perrtama kalinya aku melihat kata-katamu. Bukan hanya dari bibirmu, tapu juga terbaca dari mata beningmu.
" Kau tahu ? Aku telah dititipi cinta dari sebuah hati yang mengharap balas. Sangat mengharapkan. Hingga bahagia akan menggunung ketika cinta itu bersambut. Tapi dia takkan merasa sakit sekalipun cinta itu tak menemui ratunya. "

Kukuatkan hatiku untuk mengucapkan : " Aku menyayangimu. Hatiku yang amanatkan itu. "
Hening, tapi desau angin yang menampar-nampar pucuk cemara dan juluran nyiur melagukan orkestra yang kuyakini sebagai lagu cinta.
" Aku telah menguji keberanianku untuk mengungkapkan kasih dari dalam hatiku. Jika bagimu hal itu terlalu berlebihan dan kau tak menginginkannya, katakan itu sekarang agar aku bisa segera memupusnya. Tapi, kau tak perlu jawab sekarang jika hati kita telah bertaut,....... "
" Aku tak mau menjawabnya sekarang ! " Katamu tiba-tiba.
Sesaat kutatap matamu, tak ada yang perlu kita katakan karena dalam hati kita telah terpadu janji. Hanya itu, ya hanya itu yang mebuatku melambung dan yakin akan apa yang telah aku pilih.

Mungkin hanya ada 2 hal yang aku berikan dan membuatmu bahagia. Selebihnya aku tak yakin. Mau tahu apakah dua hal yang kuyakin membuatmu bahagia ?
Pertama, saat kuikrarkan cinta di siang itu.
Kedua, hari ini sembilan tahun yang lalu. Saat kuikrarkan janji pernikahan kita di depan Tuhan. Saat semua orang menyaksikan bahwa kita saling memiliki.

Aku memang selalu berusaha untuk membahagiakanmu, tapi maafkan aku jika aku belum bisa berikan semua. Maafkan jika dalam hidup kita berdua, aku banyak membuatmu menangis. Dan Maafkan aku jika aku baru bisa memberimu mimpi. Tapi yakinlah bahwa aku tengah berusaha mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Kini, kuingin kita hapuskan semua yang menyakitkanmu, menyakitkanku. Tahukah kamu, bahwa semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kebersamaan kita, besarnya cinta kasihku kepadamu. Biarkan aku tetap memilikimu.

Mungkin, kamu sering sedih melihatku seperti tak peduli kepadamu. Kutahu aku salah bersikap seperti itu. Tapi kau juga keliru jika mengartikan itu sebagai sikap yang kutujukan kepadamu.
Mungkin aku adalah seorang yang tak pandai berkspresi secara nyata. Mungkin aku terkena titisan Alfred Riedl, Head Coach Timnas, yang selalu datar dalam menyikapi apapun. Mugkin aku tak bisa seperti Okto yang selalu mengembangkan senyum dan menari-nari saat menyarangkan gol.
Karenanya, kumohon pengertianmu.

Ah, rasanya aku tak pantas memohon, mengharap dan meminta padamu. Karena belum cukup apa yang kuberikan kepadamu. Tapi satu hal, semua yang ada pada diri kita, itu sangat-sangat membahagiakanku. Aku tak merasa ada yang kurang dalam hidup kita, meski beban banyak menghimpit kita. Karenamu, aku kuat bertahan.

Kucintai apa yang kita miliki. Yang telah kita raih. Kucintai kamu lebih dari apa yang kita genggam. Meski, Tuhan belum berikan buah hati untuk kita, kurasa Tuhan sudah berikan semua. Kuyakin suatu saat Tuhan akan berikan itu pada saat yang tepat.

I Love You So Much.

Untuk istriku,
Rias Yuliana Prasasti
9th Wedding Anniversary