15 May 2015

Anggrek di Pulau Flores

Kupu-kupu masih beterbangan di seputar kepalaku. Berputar riuh, membuatku semakin pening. Bukan mabuk laut aku yakin, aku hanya kurang tidur agaknya meskipun gelombang selat Sape siang itu membuatku mual. Saat aku beringsut mengambil botol minum di backpack-ku, aku melihat kamu masih di situ. Di samping dek yang terbuka, dekat sekoci.

Urung tanganku meraih botol air mineral saat sejurus kamu menoleh, menatapku sesaat dan tersenyum sebelum matamu kembali menatap gugusan bukit yang menyembul dari dasar laut sebagai pulau kecil. Kulihat angin laut mempermainkan helai-helai rambutmu yang sepanjang bahu. Mengibaskannya ke sana ke mari hingga tampak leher jenjangmu. 

Dinihari tadi, saat bus yang aku naiki semenjak dari Denpasar dua malam sebelumnya sampai ke akhir perjalanannya di Bima, aku baru menyadari betapa angkuhnya aku terhadapmu. Ya, aku ingat kamu naik bus yang kutumpangi dari Mataram dan duduk di sebelahku, satu-satunya bangku yang masih tersisa. Waktu itu aku hanya melirikmu sekilas, lalu mataku kembali ke lembar-lembar buku yang menemaniku sebelum bus kembali berangkat.

"Masih lamakah kita sandar di Labuan Bajo? Tanyaku sambil melangkah di sampingmu di dinding dek dekat sekoci. Kamu menggeleng. Sambil tersenyum kamu bilang, "Entahlah... menurut nyong itu masih sekitar tiga jam lagi."

"Hemm... bisa mati bosan aku di atas fery ini..." Sudah lima kali aku menyeberangi selat semenjak dari Surabaya. Dari Ketapang - Gilimanuk, Padangbai - Lembar, dua selat di NTB yang aku lupa namanya sampai ke Sumbawa, dan terakhir Sape - Labuan Bajo yang meskipun gelombangnya tak seganas Padangbai - Lembar tetapi kurasa Selat Sape ini misterius.

Dan kamu masih tersenyum melihat aku gusar. Lalu kamu tertawa kecil. "Nyanyian kamu bagus" katamu. "Aku terkesan sekali waktu kamu ikut bernyanyi dengan pengamen di Bima pagi tadi. Kukira kamu punya cerita tentang lagu itu, lagumu penuh perasaan."

"Ah, biasa saja. mungkin karena terbawa jiwa yang sedang sepi."
Dan lagi-lagi kamu tersenyum. Tahukah kamu, aku telah jatuh simpati denganmu sesaat setelah aku mandi dan menyeruput kopi di terminal kota Bima. Saat itu kamu duduk di bangku bus kecil yang baru akan berangkat dua jam lagi, selepas Subuh. Wajah kamu tak muram, tapi juga tak ceria. Ya, tenang seperti telaga. Saat itu, aku ingin di sisimu. Menggenggam tanganmu. Aih... betapa tololnya aku kalau saja hal itu aku lakukan. Pasti kamu mengira aku sedang bermain drama, opera atau acting roman picisan. Tapi sejujurnya, hasratku bicara seperti itu.

Maka, seandainya saja kau tahu, lagu "Pandangi Langit Malam Ini" dari Jikustik yang aku nyanyikan itu, yang diiringi pengamen yang juga bersuara merdu itu, adalah tentang kamu.

"Kok ngelamun sih...?" Tiba-tiba kamu mengagetkanmu. Duh, bagaimana bisa aku melamunkan perempuan yang sedang ada di sampingku, lalu aku disadarkannya pula olehnya?

"Nggak, aku lagi berpikir aja. Apa yang di benak manusia-manusia yang terayun-ayun gelombang dan kantuk di atas kapal fery ini? Mau kemanakah mereka? Apa yang akan mereka lakukan di tanah Flores nanti?"

"Kamu sendiri, mau kemana sesampainya di Flores nanti?"

"Entahlah, agaknya aku harus ke Ende."

"Ende? Kamu mau menziarahi pengasingan Bung Karno atau ke Danau Tiga Warna?" tanyamu sambil berkerut bingung.

"Aku mau ke Kupang. Menurut ABK, kalau mau ke Kupang harus menyeberang lagi dari Ende."

"Hahaha.... Ya Tuhan... nyebrang lagi? Tak ada puas-puasnya kamu menyeberang." 
Dan aku serasa bodoh di hadapanmu, tetapi aku senang, setidaknya kamu memperhatikanku. Akupun ikut tertawa terbahak-bahak hingga bule backpacker yang tengah lelap di balik topi rimbanya terbangun dan melirik sinis ke arah kita. 

Meskipun ingin, sejak bis berangkat menuju pelabuhan Sape lepas Subuh tadi, aku tak kuasa mengajakmu berbincang. Kita berdua, yang juga duduk bersebelahan lebih memilih untuk memperhatikan cidomo yang hilir mudik di jalanan kota Bima. Dan sekarang, saat daratan Flores sayup-sayup terlihat, aku baru bisa bicara dengan kamu. Ah, kenapa tak sedari tadi?

"Hei... Om Willy...!!! Tolong bawa sahabat beta ini ke Ende...!!!" Demikian teriak ABK kepada sopir bus yang berjajar tak jauh dari dermaga sesaat setelah fery sandar.

Sore itu, kita masih bersama dalam bus yang akan membawa kit ke Ende di ujung Flores. Ya, selama lebih dari duapuluh empat jam kita bersama menelurusuri bukit, lembah dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lainnya. Terkadang kepala kamu bersandar di bahuku, tertidur. Lalu pagi menyapa kita di Ruteng dengan udara dingin, savana, gereja di tengah padang rumput, juga babi-babi yang menyeberang jalan sesekali. Siang yang kita nikmati bersama birunya laut yang bersih dan bebatuan juga pasir putih di bibir pantainya.

Selama itu juga kita lebih banyak diam. Dan aku tak juga tahu nama kamu. Hanya tangan kamu yang sesekali merengkuh lenganku saat tertidur di pundakku. Trenyuh. dan bagi kita itu lebih dari cukup. Terus begitu hingga akhirnya sampai di kota Ende.

Dengan angkot yang di sana dipanggil taksi, yang di dalamnya berdebam sound system yang memainkan house music atau lagu-lagu cengeng khas Obbie Mesakh dan Pance kamu antar aku ke Puskip, Pelabuhan Ende yang sampai sekarang aku tak paham apa makna Puskip itu.

Kapal Kirana 2 dari Ende ke Kupang akan berangkat hari Selasa jam 21.45 WITA. Astaga.... itu berarti tiga hari lagi. Dan kamu tersenyum sambil menggandengku ke sebuah tempat. Hotel, tempatku harus menginap untuk tiga hari ke depan.

Hotel yang paling besar di Ende saat itu, tetapi dengan pelayanan ala homestay yang ketika aku meminta TV, digotonglah TV entah dari ruang mana. Dan, tiga hari itu aku hanya ditemani TV hitam putih dengan satu-satunya siaran yang bisa ditangkap. TVRI.
Ya, aku sendiri, tanpa kamu.

Aku hampir menangis saat kamu tinggalkan aku di lobby hotel. Kamu bilang, "Terimakasih sudah menjadi bagian dalam perjalanan ini. Mmmm... bukan hanya di perjalanan ini, tetapi perjalan hidupku."
Aku kehilangan mata elang itu, hidung yang selalu ingin kucubit itu, bibir yang selalu tersenyum yang ingin kubasahi dengan bibirku. Dan yang pasti, aku kehilangan damai itu. Semua itu dari kamu. Tuhan, kenapa aku harus jatuh cinta...?

Malam terakhir di hotel senyap ini, saksi dari rindu dendamku, senyum tangisku terhadapmu. semua membekas, begitu lekat. Tapi bodohnya, aku tak punya jejak apapun tentang kamu. Ah, seharusnya aku tak perlu sok angkuh, sok kuat, sok dewasa. Karena saat ini aku seperti anak-anak, yang tersedu ditinggal ibunya ke pasar.

Pintu kamar diketuk, mengabarkan bahwa ada telpon untukku dari seseorang  yang tak jelas kudengar siapa namanya.

"Halo.... Dengan Ombak...?" kata seseorang di ujung telpon. 

"Ya, betul... saya sendiri."

"Baik-baik kamu di perjalananmu ke Kupang yah, ingat beberapa jam lagi kapalmu berangkat. Terimakasih sudah bersamaku beberapa hari lalu. Jangan sampai lupa sama aku. Hati-hati yah...!"

"Hei... bagaimana aku bisa lupa sama kamu...? Dan, bagaimana kamu tahu namaku? Bukankan kita tak pernah kenal nama...?"

"Hahaha.... Apa susahnya tanya ke resepsionis hotel?" kamu tergelak.

"Kenapa kamu nggak temani aku di sini?"

"Karena, kalau aku temani kamu, aku akan musnah. Aku peri pelindungmu. Kamu sudah aman sekarang. Simpan nomorku yah, aku titipkan ke petugas hotel. Jaga diri  kamu..."

KLIK....!

Aku termangu. Petugas hotel yang menghampiriku meletakkan secarik kertas dan mengangguk hormat ke arahku. Masih tak aku hiraukan.

"Siapa nama perempuan yang menelpon saya tadi...?" tanyaku ke resepsionis.

"Ibu Anggrek."

*** 
Kapal Kirana II perlahan meninggalkan pelabuhan Ende di Flores. Di buritan aku termenung menekuri lembar kertas yang diserahkan petugas hotel tadi.

Tertulis di situ : 021xxxxxxx

Jakarta.... entah kapan dapat kutemui Anggrek di sana. Kini aku tahu, mungkin dia benar peri pelindungku. Dia akan musnah jika bersamaku. Seperti anggrek yang dibuang oleh pohon induk semangnya. Mati karena hal yang tak pasti. Maka kamu memilih untuk tetap tumbuh di pohon itu, sementara warna indahmu kamu bagikan kepadaku.

Di buritan kapal kupandangi gemintang di langit. Mungkin di saat yang sama entah di mana kamu menatap langit yang sama. Langit malam ini.

"...................bila kau rindukan aku Putri, coba kau pandangi langit malam ini
bila kau tiada cukup mengerti, cobalah kau hirup udara pagi, aku di situ..................."

02 March 2015

Konser Musik Bergizi Di Balikpapan

CATATAN DARI JAVA JAZZ 2015 PRE EVENT DI BALIKPAPAN

Peak Performance Java Jazz 2015Pre Event Balikpapan
Malam yang sangat berkesan, ketika panggung jazz berskala internasional hadir dan memenuhi kehausan pecinta jazz di Balikpapan akan ajang apresiasi musik jazz.

27 Pebruari 2015, sederet musisi jazz perform di panggung Java Jazz 2015 Pre Event di Grand Mahakam Ballroom Swiss-Belhotel Balikpapan. Mereka adalah Trie Utami, Nita Aartsen, Donny Suhendra, Indro Hardjodikoro, M. Iqbal, Yeppy Romero serta dua musisi dari Italia (Danielle Cappucci dan Marcello Allulli) dan Israel Varela dari Mexico. Itulah kenapa konser jazz ini menjadi berskala internasional. Ya, karena ada tiga musisi internasional itu tadi.

Lebih dari sebulan sebelumnya, Bang Jay (Ahmad Jailani) sang ketua Balikpapan Jazz Lovers (BJL) menemui saya dan mengabarkan berita gembira, dimana Balikpapan melalui BJL mendapatkan kepercayaan untuk menggelar Pre Event Java Jazz 2015. Sebagai pecinta jazz dan host program C Radio Jazz Corner tentu saja saya menyambut dan mendukung dengan sepenuh hati.

Saya sempat tanya kapada Bang Jay, kenapa Balikpapan dipercaya oleh Java Festival Production untuk menyelenggarakan event ini. Ah, mungkin karena aktifitas jazz di Balikpapan cukup intens. Seperti dikirimnya musisi jazz Balikpapan untuk tampil di panggung Java Jazz beberapa tahun yang lalu, juga di beberapa ajang jazz lainnya.

Ya okelah... Memang sebagai warga Balikpapan sudah seharusnya merasa bangga, karena Balikpapan terpilih menjadi salah satu kota penyelenggara Pre Event Java Jazz 2015 selain lima kota lainnya seperti : Medan, Bandung, Malang, Jogjakarta dan Semarang. Dan Balikpapan adalah kota pertama di Kalimantan yang mendapat kepercayaan untuk itu. Very nice...

Press Confrence
Dalam sesi konfrensi pers pagi hari di Barito Lounge Swiss-Belhotel menjelang konser malam harinya, Nita Aartsen sempat menjelaskan formasi yang bakal perform. Di antaranya ada Donny Suhendra, Indro Hardjodikoro dan M Iqbal. Formasi kedua ada Israel Varela, Nita Aartsen dan Danielle Capucci serta disusul oleh Marcello Allulli. Formasi selanjutnya ada Donny Suhendra dan Yeppy Romero serta Donny Suhendra, Indro Hardjodikoro, Nita Aartsen, M. Iqbal dan vokalis Trie Utami.

Malamnya, Mahakam Grand Ballroom Swiss-Belhotel Balikpapan dihangatkan oleh RSKD Band sebagai Band Pembuka. RSKD Band sendiri adalah band yang cukup unik di Balikpapan. 
RSKD Band
Keunikan pertama, RSKD Band yang merupakan inisial dari Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo memang digawangi oleh para dokter senior dan tenaga medis dari rumah sakit ini.

Keunikan kedua, RSKD Band bisa dikatakan sebagai mini big band, dimana dalam formasinya dilengkapi juga dengan brass section dan string section.

Sebagai band pembuka, RSKD Band memainkan empat nomor jazz yang sudah sangat familiar bagi pecinta musik dan jazz lover yang hadir malam itu.

Donny Suhendra & Indro Hardjodikoro
M. Iqbal














Setelah itu, Donny Suhendra dan Indro Hardjodikoro dan M. Iqbal langsung menggebrak dengan komposisi dari Chick Corea dan Jon Coltrane. Komposisi jazz standard yang langsung membangun nuansa jazz. Bagi pecinta musik yang mengalami era remaja tahun 80-90an, siapa yang tak kenal dengan Donny Suhendra? Gitaris yang membawa warna tersendiri dalam Krakatau juga Adegan.
Juga Indro Hardjodikoro yang awal karirnya bersama Halmahera selalu dekat dengan Tohpati. Lalu banyak project Indro berkolaborasi dengan banyak musisi kenamaan, bahkan musisi internasional seperti Kenny Garret, Michael Colina, Dave Koz, Michael Lington dan lain- lain.


M. Iqbal, drummer putra asli Samarinda yang mengatur beat dengan pukulan yang dinamis dan powerful mengiringi petikan gitar Donny Suhendra yang penuh improvisasi yang membikin terbelalak serta cabikan bass Indro Hradjodikoro yang dimainkan dengan kalem tapi berenergi dan penuh ekspresi.
Yeppy Romero & Donny Suhendra
Sementara M. Iqbal dan Indro Hardjodikoro turun, tampil kemudian Yeppy Romereo. Bermain bersama Donny Suhendra, Yeppy Romero memainkan nomor-nomor dinamis Flamenco yang menjadi karakternya dalam bermain gitar.

Komposisi seperti Spain dan Mediteranian Sundance dibawakannya berdua secara atraktif dengan diselingi inprovisasi dan battle di dalamnya. Serius, mereka seperti dewa.

VAC (Varella, Aartsen, Capucci)

Tampil berikutnya, ada VAC (Varella, Aartsen, Capucci). Indeed, mereka adalah Israel Varella yang bermain drum, lalu Nita Aartsen yang memainkan keyboard dan Danielle Capucci yang mengusung cello sebagai alat musik yang dimainkannya. 

String cello yang dibetot dan sesekali digesek serta dipadu dengan denting suara piano dan drum menciptakan harmoni yang apik sekaligus epic dalam komposisi seperti Quatro kemudia komposisi milik Nita Aartsen, milik Israel Varella dan milik Danielle Capucci.
VAC Featuring Marcello Allulli
Menyusul kemudian Marcello Allulli denga tiupan alto sax yang menambah harmonis bunyi-bunyian yang dibuat VAC. Allulli sendiri adalah musisi lulusan Berklee College of Music dan merupakan pemain saxophone yang disegani di Italia.

Sementara Danielle Cappucci, bassist yang juga berasal dari Italia mulai belajar bass mulai usia 16 tahun. Pengalamannya bermusik cukup panjang. Pernah bermain dengan Eddy Gomez, Paola Della Porta, Vashion Johnson dan banyak musisi dunia lainnya.

Israel Varella
Sedangkan Israel Varella, drummer dari Mexico yang saat Press Confrence sempat mengatakan bahwa postur dan tampangnya lebih mirip Indonesia ini memiliki karakter langka antara warna Flamenco, Mexico, klasik dan Arab. Varella telah banyak tampil dengan musisi-musisi jazz dunia dari berbagai genre seperti Pat Metheny, Charlie Haden, Bob Sheppard, Andrea Bocelli dan banyak nama lainnya.

Beda lagi dengan Nita Aartsen. Pianis yang mulai belajar piano sejak berusia lima tahun dan menyelesaikan studinya di Moscow Conservatory jurusan Jazz Kontemporer ini pernah lama bermain sebagai musisi istana. Karenanya dia pernah bermain di hadapan Presiden Amerika Bill Clinton dan Pangeran Bernard.


Nah,... balik lagi ke Java Jazz 2015 Pre Event di Balikpapan, di tengah VAC dan Marcello Allulli bermain, Donny Suhendra kembali on stage. Seteleh beberapa komposisi dibawakan, tak lama kemudian Trie Utami muncul ber-scat singing dalam komposisi One Samba dengan formasi Donny, Nita, M. Iqbal dan Capucci. 

Trie Utami yang enerjik dan komunikatif dengan penonton kemudian berdialog dengan Donny Suhendra, karib lamanya di Krakatau. Jujur aja, ada keharuan di situ. Saat mengenang sebuah karya yang tercipta dari tangan Krakatau tahun 1993. Maka mengalunlah Sekitar Kita dalam formasi Capucci digantikan Indro Hardjodikoro. Menyusul kemudian beberapa komposisi termasuk Kota Baru, lagu khas Kalimantan Selatan.
Menutup rangkaian performance, semua musisi naik ke stage dan ber-jam session dan melakukan sesi solo dengan sangat luar biasa.

Yes... ini kali pertama pulau Kalimantan dijadikan sebagai tampat Pre Event Java Jazz. Dan Balikpapan menjadi kota pertama yang ditunjuk untuk menggelarnya. Bangga, tentu saja. Bagaimanapun hal ini menyiratkan Balikpapan menjadi barometer jazz di Kalimantan.

Tetapi, sebagaimana yang dikatakan Trie Utami dalam wawancara eksklusive dengan C Radio 96,2 FM Balikpapan mengatakan, bahwa tidak seharusnya jazz itu menjadi eksklusive, karena jazz pada dasarnya lahir dari ekspresi teriakan marjinal. Karenanya, sekat yang dibangun masyarakat tentang jazz yang begitu eksklusive harus diretas. So, kita tunggu kiprah para apresiator dan musisi jazz untuk menggelar event jazz yang membumi.

Salam Jaz...!!!

** Java Jazz 2015 Pre Event terselenggara atas kerjasama PT Java Festival Production dan     Balikpapan Jazz Lovers.
** Didukung oleh Swiss-Belhotel Balikpapan, Citilink, Pertamina Fastron, Fotografer.Net
** Organized by Tobs Management, Tekabe
** Tribun Kaltim sebagai Print Media Partner
** C Radio 96,2 FM sebagai Radio Media Partner