28 August 2012

Menanti Hujan

Mendung berayun di atap kotaku, seperti tatapan kekasih yang janjikan damai tanpa harus terucap. Hujan pertama yang mengakhiri garangnya kemarau selalu saja menjadi romansa. Bukan saja bagiku, tetapi pasti juga bagi setiap orang, dengan ceritanya masing-masing.

Sejenak kunikmati semilir angin yang menyertainya. Selalu saja begitu alurnya, sama seperti tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya. Yang berubah hanyalah lagu jiwaku. Ya, dulu ketika aku kecil hujan pertama kusambut dengan teriakan gembira seraya berlarian di bawah rinainya.

Ketika belia remaja mendampingi usiaku, aku biasa menikmatinya dengan duduk di muka jendela, memandangi rintiknya yang menerpa dedaunan. Dan saat itu kubisa senandungkan lagu cinta yang belum lama kukenal. Bersamanya banyak tercipta bait-bait puisi dalam lembar-lembar catatan atau bahkan surat-surat kasmaran. Bersamanya aku merasa seperti tokoh utama dalam film-film percintaan yang paling romantis.

Dan kini, saat ini, aku berharap masih menikmati hujan pertama berdua denganmu seperti beberapa musim belakangan ini. Seperti biasa, uap tanah serupa dengan candu yang memabukkan yang menerbangkan angan tentang sebuah cerita damai. Seperti biasa, kita berdua akan saling diam, sibuk dengan fantasi masing-masing.

Seperti sebuah tradisi, selanjutnya kau akan bertanya masihkah diriku mencintaimu, lalu memintaku menjadi rinai hujan yang membasahi jiwamu.

"Ya...tentu saja aku mencintaimu. Tak perlu kau ragukan hal itu."

"Jika begitu, tunjukkan rasa itu! Aku juga ingin kau belai sekali-sekali" katamu sambil merajuk.

"Bukankah aku telah menunjukkan hal itu dengan caraku sendiri? Dengan berada di sini bersamamu?"

Mungkin aku adalah seseorang yang tak begitu pandai mengungkapkan cinta dengan kemesraan seperti layaknya pasangan yang sedang berpacaran. Kau pernah mengatakan bahwa cinta kita harus dihias sekali-sekali agar tak gersang.

Katamu, "Kalau sampai gersang aku takut akan mati."

"Kenapa harus mati jika kita sendiri yang berkehendak untuk menjaga dan mempertahankannya?"

"Tak maukah kau menghiasi ruang hati yang kita isi dengan kebersamaan cinta?"

Ingin kukatakan kepadanya bahwa aku lebih memilih untuk membiarkannya begitu saja. Bukan kutinggalkan prasasti cinta itu. Tentu saja akan kutengok setiap pagi, siang dan malam. Tapi kusenang membiarkan lumut tumbuh subur di sela-sela permukaannya. Kusenang membiarkannya tampak tua.

"Kau tahu kenapa?" kataku kemudian. "Karena kuingin kita melihat cinta kita itu telah tumbuh dewasa. Dengannya menjadi bukti bahwa kita telah memilikinya sejak lama sekali."

Kuingin kita berdua menilainya betapa banyak sejarah yang telah tertoreh dari cinta yang kita miliki. Sejarah untuk kita sendiri. Meski berlumut bahkan mungkin lapuk, tapi tidak dengan ruhnya.

"Tapi lenganmu belum rapuh untuk sekedar merengkuh pinggangku kan? Bahumu belum terlalu lemah untuk menopang kepalaku kan?" Ah...pertanyaanmu lagi.

Kataku, "Baiklah...."

Kuharap hujan segera turun menemani saat ini untuk kita.