21 November 2012

Crop Circle



Biar kupesan lagi segelas bir lagi. Bukan karena dingin. Udara malam ini memang begitu kelabu, kadang ungu seperti warna janda, menelisik celah-celah jendela lalu menuju entah ke mana.

Dan satu gelas lagi. Bukan karena tubuhku perlu hangat, tapi karena kamu yang dingin. Mungkin satu gelas lagi, hingga bisa kulihat kupu-kupu beterbangan dari bibirmu. Merah, kuning, biru berkepak kecil berputar menari. Aku tersenyum meski kutahu aku sedang mendustai diriku sendiri.

Heningmu nyaris tanpa jeda. Ya, nyaris, karena terkadang kamu memperlihatkan catatanmu kepadaku. Tapi saat itu pula aku hanya bisa tertegun, tak bisa membaca, mendadak buta huruf. Tulisanmu seperti kode-kode alien yang terenkripsi, susah bagiku untuk memahaminya. Terkadang malah kamu tunjukkan lukisanmu. Aku bisa melihat keindahannya, tapi aku tak bisa menterjemahkannya. Bagiku, lukisanmu serupa dengan crop circle. Indah, rapi, simetris. Kutahu itu mengandung arti, tapi aku tak tahu apa.

Aku mabuk. Dan kamu bersedia menemaniku. Tapi hening, itulah yang sebenarnya membuatku mabuk. Pagi tadi kubuatkan lukisan untukmu. Selembar danau yang tenang, dikelilingi pepohonan hijau yang daunnya seperti terpangkas rapi membentuk gambar jantung. Lalu ada bungalow kecil di pangkal dermaga. Dan juga perahu berwarna merah muda dan biru tertambat di tiang dermaga.

Kamu hanya tersenyum. Itu saja.

Dan aku harus memesan lagi bergelas-gelas bir.

“Aku tersesat meskipun baru mencoba memasuki binar matamu.” Kukatakan itu saat kita duduk di bangku paling sudut kafe, dekat jendela yang menghadap jalanan agar aku bisa mengalihkan perhatian bila salah tingkah.

“Mau pesan minum?” katamu.

Lemon squash.”

“Bir...?”

“Nggak.”

Aku sedang tak butuh bir. Sekilas kupandang bibirnya, berharap ada senyummu. Ya, kamu memang tersenyum. Tapi setelah itu kamu berpaling ke stage kecil dimana Careless Whisper mengalun dari penyanyi bertubuh subur itu.
Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dalam-dalam lalu kuhembuskan. Sekedar bersiap seperti ancang-ancang untuk bicara. “Kamu tahu mengapa dua orang yang saling mencinta, mereka menyebut belahan jiwa satu sama lain?”

“Hem....?”

“Maksudku kapan dua orang yang saling mencintai bisa menghayati makna dari kata belahan jiwa seperti yang sering diucapkan?”

“Kapan...?” kamu balik bertanya sambil menyeruput hot chocolate.

“Saat keduanya terpisahkan....”

“Kok bisa?”

“Karena saat itu mereka merasa sebagian hatinya terrampas. Hilang separuh. “

“Menyakitkan pasti...”

“Ya, seperti diriku saat ini. Belum menyatu, apalagi terpisah. Tapi sakitnya sudah terlebih dahulu aku rasakan.”

Tanganmu terulur menyentuh dan mengusap punggung tanganku. Dan akupun tak tahu apa maknanya. Lalu mengalir kata-kata bijak tanpa jeda yang membuatku menjadi pusing. Selalu begitu, dan selalu seperti ini. 

Aku tak tahu apakah aku yang bodoh untuk membaca hatimu, menafsirkan kedekatan kita, aku yang tak bisa berbicara dengan bahasamu, atau kamu yang tak bisa menangkap isyarat cinta?

Ya, aku cinta kamu. Selalu kuyakini kamu tahu itu.

Tapi selalu hening saat bersama. Atau suara dari bibirmu berisi hasihat bijak yang bagiku menjelma menjadi bilangan-bilangan biner.... 01100011110000110110110....

Bukan itu yang ingin kudengar.

“Kamu mau pulang sekarang...?” tanyamu sambil beranjak.

“Nanti saja”

“Kutinggal dulu ya, aku......bla bla bla bla........”

Aku tak hirau dengan ucapan-ucapannya. Pandanganku kabur, otakku kendur. Hingga seolah telingamu memanjang runcing ke atas, matamu membesar dan kepalamu meninggi. Lalu seolah kata terakhirmu berbunyi : “Aku ada arisan di planetku...”

Ketika kamu beranjak, ada gambaran crop circle di atas kursi yang kamu duduki. Hangat, sedikit mengepul dan bau hangus.

Aaaah.... I need some beers....!!!

28 August 2012

Menanti Hujan

Mendung berayun di atap kotaku, seperti tatapan kekasih yang janjikan damai tanpa harus terucap. Hujan pertama yang mengakhiri garangnya kemarau selalu saja menjadi romansa. Bukan saja bagiku, tetapi pasti juga bagi setiap orang, dengan ceritanya masing-masing.

Sejenak kunikmati semilir angin yang menyertainya. Selalu saja begitu alurnya, sama seperti tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya. Yang berubah hanyalah lagu jiwaku. Ya, dulu ketika aku kecil hujan pertama kusambut dengan teriakan gembira seraya berlarian di bawah rinainya.

Ketika belia remaja mendampingi usiaku, aku biasa menikmatinya dengan duduk di muka jendela, memandangi rintiknya yang menerpa dedaunan. Dan saat itu kubisa senandungkan lagu cinta yang belum lama kukenal. Bersamanya banyak tercipta bait-bait puisi dalam lembar-lembar catatan atau bahkan surat-surat kasmaran. Bersamanya aku merasa seperti tokoh utama dalam film-film percintaan yang paling romantis.

Dan kini, saat ini, aku berharap masih menikmati hujan pertama berdua denganmu seperti beberapa musim belakangan ini. Seperti biasa, uap tanah serupa dengan candu yang memabukkan yang menerbangkan angan tentang sebuah cerita damai. Seperti biasa, kita berdua akan saling diam, sibuk dengan fantasi masing-masing.

Seperti sebuah tradisi, selanjutnya kau akan bertanya masihkah diriku mencintaimu, lalu memintaku menjadi rinai hujan yang membasahi jiwamu.

"Ya...tentu saja aku mencintaimu. Tak perlu kau ragukan hal itu."

"Jika begitu, tunjukkan rasa itu! Aku juga ingin kau belai sekali-sekali" katamu sambil merajuk.

"Bukankah aku telah menunjukkan hal itu dengan caraku sendiri? Dengan berada di sini bersamamu?"

Mungkin aku adalah seseorang yang tak begitu pandai mengungkapkan cinta dengan kemesraan seperti layaknya pasangan yang sedang berpacaran. Kau pernah mengatakan bahwa cinta kita harus dihias sekali-sekali agar tak gersang.

Katamu, "Kalau sampai gersang aku takut akan mati."

"Kenapa harus mati jika kita sendiri yang berkehendak untuk menjaga dan mempertahankannya?"

"Tak maukah kau menghiasi ruang hati yang kita isi dengan kebersamaan cinta?"

Ingin kukatakan kepadanya bahwa aku lebih memilih untuk membiarkannya begitu saja. Bukan kutinggalkan prasasti cinta itu. Tentu saja akan kutengok setiap pagi, siang dan malam. Tapi kusenang membiarkan lumut tumbuh subur di sela-sela permukaannya. Kusenang membiarkannya tampak tua.

"Kau tahu kenapa?" kataku kemudian. "Karena kuingin kita melihat cinta kita itu telah tumbuh dewasa. Dengannya menjadi bukti bahwa kita telah memilikinya sejak lama sekali."

Kuingin kita berdua menilainya betapa banyak sejarah yang telah tertoreh dari cinta yang kita miliki. Sejarah untuk kita sendiri. Meski berlumut bahkan mungkin lapuk, tapi tidak dengan ruhnya.

"Tapi lenganmu belum rapuh untuk sekedar merengkuh pinggangku kan? Bahumu belum terlalu lemah untuk menopang kepalaku kan?" Ah...pertanyaanmu lagi.

Kataku, "Baiklah...."

Kuharap hujan segera turun menemani saat ini untuk kita.


04 May 2012

KOTAK AJAIB

Ini bukan sembarang kotak ajaib. Dia ada semenjak tercipta hingga entah sampai kapan selama orang masih punya kuping sebagai indera pendengaran.

Dia ada sejak jaman engkong-nya engkong, jaman kumpeni dan marsose bercokol, jaman Bung Tomo membakar semangat pertempuran, jaman Koes Plus yang masuk bui lantaran musik ngak ngek ngok-nya, jaman kelompencapir hingga jaman Cherybelle dan M. Nazarudin kesandung Wisma Atlet. Ya, setidaknya sampai saat ini.


Baiklah, sekarang kita bicara tentang RADIO, si kotak ajaib yang saya maksudkan tadi.

Ada ungkapan orang bijak yang mengatakan : “ Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. “

Masa yang berlalu hanya mengubah teknologi, bentuk, dan orang-orang di dalamnya. Adapun tentang fungsi ? Sami mawon, sama saja. Lalu di manakah ajaibnya ?

Nah, bicara soal ajaibnya kotak bernama radio itu, saya bisa membuat anda tersentak dan menyadari tentang sesuatu. Sabar.... Untuk menuju ke sana saya ingin mengajak anda merenungkan satu hal :

Hal apakah yang harus anda sishkan, sempatkan atau korbankan untuk mendengarkan radio ? Apakah anda perlu menyempatkan waktu tertentu untuk mendengarkan radio ? Apakah anda harus menyapkan ruangan tertentu untuk mencerna siaran radio ? Apakah anda harus meninggalkan aktifitas yang sedang anda jalani ?

Jawabannya : Tidak !

Anda tak perlu melakukan semua itu. Anda bisa melakukan aktifitas apapun untuk mendengarkan radio. Biarkan radio yang menemani anda.

Anda bisa menyimak siaran radio sambil makan, membaca, ngobrol, mengemudi, marah-marah, mandi, atau bahkan tidur dan mungkin –maaf—bercinta . Biarkan radio yang menyuapi anda akan hiburan.

Anda tak perlu memasuki ruangan tertentu untuk mencerna siaran radio. Bebas saja. Bisa di kamar, di ruang tamu, di jalan, di mobil, di kantor, di kafe, atau di mana saja. Biarkan radio yang menyajikan informasi untuk anda.

Radio tak menuntut anda untuk melebarkan mata untuk membaca atau melihat warna-warna visual. Radio tidak meminta anda duduk di satu tempat. Praktis, yang anda perlukan hanyalah telinga ! Itu saja.

Anda menyadari sesuatu ? Bukankah ini ajaib ?

Yang ini lebih ajaib. Anda pasti pernah menyaksikan sebuah video clip. Pasti. Apakah yang anda lihat ? Anda dituntun—atau dituntut—untuk mengikuti visual yang ditayangkan.

Sekarang bandingkan dengan ketika anda mendengarkan lagu lewat radio, dimana sang penyiar mengantarkan untuk menyimak lagu tersebut. Ya... hanya mengantarkan saja. Sebatas itu. Lalu, saat lagu itu diperdengarkan, imajinasi anda sendirilah yang bermain, menggambarkan adegan demi adegan, lengkap denag tekstur, warna dan aroma yang anda buat sendiri dalam benak anda.

Ajaib ! Betul kan ?

Setiap manusia memiliki kesan, suasana hati atau perasaan masing-masing setiap detik yang dijalaninya. Ajaibnya—lagi-lagi—ajaib, radio bisa menemani pendengarnya dalam suasana apapun ketika itu. Tak peduli apakah pendengarnya tengah menangis karena sedih, tersenyum dan tertawa karena bahagia, putus harapan atau optimis, sedang ingin tahu sesuatu, semuanya dapat tersentuh.

Ah, ternyata radio dapat mempengaruhi emosi pendengarnya. Bisa menyemangati saat sedih, atau bahkan ikut berempati akan problema yang di alami pendengarnya. Dalam saat yang sama. Ya, dalam saat yang sama, secara personal, pribadi.

Bukankah seseorang akan merasa tersanjung atau merasa dihargai jika disapa secara pribadi ? Di situlah salah satu kekuatan radio. Meskipun ucapan penyiar didengarkan oleh ratusan bahkan ribuan orang, pendengarnya akan merasa tersentuh secara personal, intim.

Ini juga ajaib bukan ?

Maka penyiar yang benar akan menggunakan sapaan pendengarnya dalm bentuk orang ke-dua tunggal seperti : anda, kamu, elu, ente, ngana, maneh, you,kowe, sampeyan, yeiy dan sebagainya sesuai dengan karakter format radionya (biasa disebut call audience). Dan bukannya : Anda semua, you all atau lainnya yang berkonotasi jamak.

Karenanya, berapa kalikah dalam hidup anda merasa tersentuh karena cuap-cuap penyiar ?

Anda pasti pernah dibuatnya menangis padahal di saat itu juga pendengar lainnya dibuat tertawa, atau sebaliknya. Hanya radio yang bisa begini.


Kawan, penemuan teknologi radio adalah suatu hal yang : brilliant.
Maka, profesionalitas dan keratifitas awak radio juga musti : excelent.
Dan pendengar yang memilih stasiun radio yang baik untuk didengar adalah : amazing.

Nah, dengan berbagai kejaiban itu, apakah radio siaran itu akan ditinggalkan ?

Saya rasa tidak. Karena saya yakin. Haqqul yaqin andapun salah satu dari pendengar radio.

Dengan media lain ? Kita hanya berbagi waktu saja.

Sekali di udara tetap di udara !
Bravo Radio !

01 February 2012

Pulang

Kutahu, suatu saat nanti aku akan pulang.

Hujan masih saja turun dengan derasnya, seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Aku menepikan sepeda motorku ke sebuah halte. Beberapa orang berteduh di bawahnya. Kulirik jam tanganku, jam lima sore.

"Pulang dik....?" tanya seorang bapak yang duduk sambil mengepulkan asap rokoknya di sebelahku. Aku hanya tersenyum. Senyum yang kuyakin terlihat aneh. Aneh, sama anehnya jika kudengar kata "pulang".

Kutepiskan bercak lumpur yang mengotori sepatu boot yang membungkus ujung kakiku hingga ke lutut. Bapak tua itu mengangsurkan bungkus rokoknya kepadaku. Aku mengambilnya sebatang, kunyalakan lalu kuhisap dalam-dalam asap pahitnya, seperti menelan bulat-bulat kegetiranku.

"Saya juga kangen rumah. Anak-anak saya juga pasti sudah menunggu saya pulang." Ah, kata-kata itu lagi. Aku jengah mendengarnya. Namun aku mengangguk, penasaran. Sepertinya bapak ini bisa membaca pikiranku.

"Pasti rumah Bapak hangat." Kataku pada akhirnya.

"Hehehe.... hangat itu di sini dik..." katanya sambil menunjuk ke arah dadanya. "Jiwa kita sendiri yang akan bikin hangat atau dingin apapun yang kita miliki. Percaya sama Bapak, kehangatan itu yang akan membuat kita selalu pulang ke tempat yang sama."

Aku tersenyum kecut. Bukannya aku tak percaya kata-katanya, tapi aku tengah kesulitan untuk memaknai kata "pulang". Beberapa bulan ini aku hanya mengenal kata "singgah". Bagiku pulang itu hanya ke sebuah tempat yang pernah aku miliki. Tempat yang kini hanya secara diam-diam aku rindukan.

"Bapak tahu bagaimana rasanya kehilangan. Tapi adik pasti lebih tahu bagaimana perasaan yang sebenarnya."

"Terimakasih pak. Saya pernah mengucapkan selamat jalan kepada apa yang hilang. Dan saya sedang berusaha untuk melakukan hal yang sama, saat ini, saat kerinduan itu datang lagi."

"Ya ya ya... itu baik sekali."

Aku menghela napas panjang. Di benakku tergambar lagi sudut-sudut ruangan yang pernah kupeluk. Kukenali setiap jengkal lantai dan dindingnya. Dulu, aku selalu nekad menerobos hujan agar lekas sampai ke rumah untuk kemudian kubasuh tubuhku dan menghirup secangkir kopi atau bersembunyi di balik selimut sambil mengeja baris-baris buku yang belum selesai kubaca.

Hujan hanya tinggal menyisakan gerimis. Bapak tua itu menepuk pundakku, "Pulanglah ke tempatmu singgah. Tidur dan bermimpilah tentang tempatmu pulang. Lalu genggam dan kejarlah. Jangan lupa berdoa dan adukan hanya kepada Tuhan." Dengan berlari-lari kecil bapak tua itu menuju kesebuah angkutan kota yang akan membawanya pulang.

"Kamu di mana...?" Suara kecil dari telepon genggamku memanggil dengan nada khawatir, menungguku untuk pulang.

Ya, setidaknya aku masih memiliki tempat pulang yang tak mungkin akan hilang. Seketika hatiku hangat.

Jika benar Tuhan selalu punya rencana terbaik, pada waktu yang tepat pasti aku akan bisa wujudkan mimpiku. Aku beranjak menuju sepeda motorku. Tanpa terasa air mata menetes membasahi wajahku, bercampur dengan rinai gerimis.

Aku tahu, suatu saat nanti aku akan pulang.