28 September 2009

Apakah Aku Laki Laki ?

Apakah aku ini laki-laki ? Aku melihat diriku di cermin. Mencoba mencari-cari garis yang membuatku yakin bahwa aku laki-laki.

Ya,... aku menemukan bulu-bulu halus di bawah hidung, sebelum bibir atasku. Ada lagi di bawah bibir bawahku, juga di daguku.

Bulu halus ? Mungkin dulu iya, waktu aku masih SMA. Tapi mungkin sekarang tidak lagi. Sekarang berubah menjadi kasar karena terkena pisau cukur setiap pagi. Bulu-bulu itu memang harus aku cukur setiap pagi agar terasa nyaman bagiku. Itupun akan tumbuh kembali saat sore hari.

Sampai di sini aku masih menemukan bahwa aku memang laki-laki. Walaupun memang bukan laki-laki yang tampan, karena wajahku biasa-biasa saja.

Lebih jauh, sekarang aku buka bajuku. Dadaku cukup bidang kukira, setidaknya untuk badanku yang tidak terlalu tinggi. Lalu, kuamati dadaku. Yang aku tahu, dada perempuan biasanya memiliki dua payudara yang menonjol kenyal dengan ariola yang cukup luas. Aku tidak memiliki dada yang seperti itu. Aku hanya menemukan beberapa bulu di dadaku meskipun jauh dari kata lebat.

Aku masih berdiri di depan cermin. Masih memandangi tubuhku. Dan sekarang kubuka celanaku, kulepas ! Lalu kulihat di antara kedua pahaku. Aku memastikan diri bahwa aku memang laki-laki. Itu kupastikan ketika di sana kulihat kelamin milikku. Penis ! Dan bukan vagina seperti yang perempuan miliki.

Hening, sunyi dan dingin. Kukenakan lagi pakaianku. Sambil masih berpikir, utuhkah aku sebagai laki-laki ? Untuk sementara iya. Kusimpulkan dari anatomi tubuhku. Lalu bagaimana dengan jiwa ? Uh... benar. Bagaimana dengan jiwaku ?

Ya, bagaimana dengan jiwaku ? Aku cemas, karena banyak jiwa perempuan yang meminjam tubuh laki-laki. Dan banyak jiwa laki-laki yang yang meminjam tubuh perempuan. Aku terpekur, menggigil memeluk lututku yang gemetar di sudut kamar. Terduduk, sambil meraba-raba jiwaku, meyakinkan jiwaku tetap ada, kesadaranku masih utuh.

Tapi aku menyukai perempuan. Menikmati sentuhan-sentuhan perempuan, mengejang saat merasakan hasratku terhadap perempuan. Aku bahkan mencintai satu di antara perempuan, dan aku bahagia karenanya. Aku tidak tertarik dengan tubuh laki-laki untuk kugumuli. Karena tubuh dan jiwaku kupastikan laki-laki.

Sekarang, laki-lakikah hatiku ? Kucoba memeras isi hatiku agar aku bisa tahu hangatkah cairannya terhadap perempuan. Hangat. Kusentuh lagi dinding hatiku. Hangat. Pernah kurasakan hangat yang membara ketika perempuan menyentuhnya.

Namun, apakah kehangatan itu akan dirasakan oleh perempuan yang menghuni ruang hatiku ?

Aku pernah membuat perempuan merasa dicintai dengan tulus meskipun dengan sederhana. Dan perempuanku bersedia memberikan hal yang sama, cinta yang juga tulus. Karenanya aku bisa memberikan kepada perempuan rasa rindu yang menggebu, sama dengan yang aku rasakan. Aku bahkan bisa mengajaknya mendaki puncak. Puncak kebahagiaan.... sekaligus kenikmatan dari hasrat yang menggelora.

Aku bisa membuat seorang perempuan keluar dari rumahnya yang telah bertahun-tahun menjadi fokus kebahagiannya. Lalu menuju ke rumahku, mempertaruhkan kebebasan dan kebahagiannya, hanya karena di rumahku ada jiwa yang memberinya cinta dan kasih sayang. Jiwaku.

Yang aku lakukan untuk perempuan yang memadukan jadi satu dua hati, hatiku dan hatinya ?

Aku bersedia menempuh ribuan mil untuk menjemputnya, untuk kemudian menggendongnya. Ya, mengendongnya di atas kakiku sendiri, mengarungi savana yang gersang, bahkan gurun yang tandus.

Aku bersedia memeluk perempuanku saat dingin menerpa tubuh atau hatinya. Aku bersedia menjilati air matanya saat perempuanku menangis. Memberinya perasaan damai sekaligus perasaan dimiliki dan dibutuhkan.

Aku bersedia memeluk pinggangnya saat berjalan bersama, menuntunnya saat melalui jalan terjal dan membasuh kakinya saat melewati jalan berlumpur.

Aku mau menggenggam tangannya dan menyediakan dadaku untuknya bersandar saat dia butuh dukungan dan perlindungan.

Aku tersentak. Perlindungan ? Bisakah ? Aku sendiri takut kekerasan ? Akankah perempuanku merasa terlindungi olehku ?

Aku dengar suara teriakan tak jauh dari rumah. Agak jauh sebenarnya. Tapi karena siang ini sangat sepi, aku bisa dengar dengan jelas suara teriakan itu. Aku bergegas keluar rumah. Kulihat ada dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perempuan itu menjerit tertahan ketika melihat salah seorang laki-laki yang berbadan kecil ditarik kerah bajunya oleh laki-laki satunya. Badannya lebih besar. Tapi aku mengenal laki-laki malang itu. Dia seorang play boy yang sering mempermainkan hati perempuan.

" Kamu mau jadi pahlawan buat perempuan ini hah ? " si kekar menghardik.

" Tolong... jangan sakiti kekasihku ! " kata perempuan itu memohon kepada si kekar untuk membebaskan kekasihnya. Baru aku tahu, ternyata laki-laki malang itu adalah kekasih perempuan itu.

" Ambil tas ini, dan bawa yang kamu mau... dan biarkan kami pergi, kumohon.... " perempuan itu mulai meratap.

Laki-laki malang itu berteriak sambil lehernya masih dalam cengkeraman si kekar.

" Jangan ! Jangan berikan kepadanya sayang, pergilah... jangan hiraukan aku...! "

" Tutup mulutmu !!! " si kekar menghardik sambil tinjunya melayang ke mulut laki-laki malang itu.

Laki-laki itu terjajar beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh telentang di atas tanah. Darah mengucur dari hidungnya. Dia mencoba bangkit. Matanya merah menahan amarah yang teramat sangat. Tapi kulihat raut wajah yang ragu dan ciut dari laki-laki malang itu.

Mungkin laki-laki itu sama denganku, gentar melihat kekerasan, apalagi harus terlibat dengan kekerasan. Tulang-tulangnya sama dengan tulang-tulangku, kecil dan rapuh. Sebuah konstruksi badan yang menghalangi ototnya untuk menjadi kekar.

" Kasihan dia... " Aku membatin. Dan ketika itu aku lebih merasa mengucapkannya untuk diriku sendiri.

Laki-laki itu mencoba untuk membalas pukulan dengan membabi buta. Namun pukulannya hanya beberapa saja yang mengenai badan si kekar. Itupun lebih terasa seperti tamparan seorang anak kecil. Lunglai.

Dan dengan sekali pukul, tinju si kekar tepat mengenai ulu hatinya. Membuatnya kembali tersungkur sambil mengerang memegangi perutnya. Kekasih perempuannya menjerit. Dan sebelum perempuan itu menghambur ke arahnya, si kekar memuaskan ego kekuatannya dengan sekali lagi menendang punggung lelaki malang itu. Dan dengan sekali sentak si kekar berhasil merebut tas yang ada di pelukan kekasih laki-laki malang yang sudah tidak berdaya itu.

Dan perempuan itu, dia sudah tidak peduli lagi dengan benda-benda berharga di dalam tasnya. Dia hanya melirik sepintas saja ketika si kekar membawa pergi tas itu dengan tertawa-tawa. Sementara laki-laki malang itu masih mengerang kesakitan dengan kepala di pangkuan kekasihnya, sebelum akhirnya warga berdatangan dan membawanya ke rumah sakit.

*****

Aku tertegun, merutuki diri sendiri. Menyesali diri, kenapa aku tidak memiliki keberanian untuk menolongnya ?

Lalu aku kembali menggigil, kembali di sudut kamar yang kosong. Lagi-lagi aku merenung tentang makna laki-laki. Siapakah yang berhak menyandang nama laki-laki ? Antara aku, laki-laki malang tadi, dan si kekar ?

Apakah laki-laki malang tadi ? Yang berusaha memberikan perlindungan kepada kekasihnya meski dengan gentar. Mungkin karena amarahnya tersulut. Sedangkan aku sama sekali tidak tahu kekasihnya itu perempuan yang ke berapa yang berhasul dia dekap. Tapi mungkin dialah laki-laki.

Atau mungkin juga si kekarlah yang pantas disebut laki-laki. Dia begitu kuat dengan badannya yang besar. Dengan kekuatannya itulah si kekar menebar ketakutan disertai gertaknya yang menggelegar. Tapi kenapa dia takut menghadapi kenyataan bahwa untuk mendapatkan sesuatu dia harus berusaha dan bekerja ? Tapi mungkin juga dialah laki-laki.

Atau laki-lakikah aku ? Yang meskipun bisa membuat perempuan merasa nyaman dengan cinta dan pengabdianku, ternyata hanya bisa gemetar dan membiarkan kekerasan terjadi di depan mataku ?

Entahlah....
Mungkin laki-laki malang itu adalah laki-laki bagi kekasihnya.
Mungkin si kekar adalah laki-laki bagi cecunguk-cecunguknya.
Mungkin aku hanya merasa sebagai laki-laki bagi diriku sendiri.
Entahlah...

25 September 2009

Pangeran Kodok Terganjal Level

Lebaran baru saja berlalu. Aroma lebaran juga masih terasa dalam nafas. Nah, sekarang di sinilah gue. Di belakang meja dalam kantor gue yang masih juga berantakan mirip kapal pecah. Gue memang belum sempat beresin tempat kerja gue. Tepatnya memang nggak disempet-sempetin.

Tapi gimanapun gue betah berlama-lama di sini. Melototin monitor sambil tangan gue gerayangin mouse sama keyboard.

Biasalah... temen gue cuma air minum yang bisa saja berupa air putih, teh, kopi atau minuman suplemen. Yang penting ada airnya. Nggak ketinggalan sebungkus rokok, atau juga bisa cuma beberapa batang rokok lantaran dompet ini lebih sering cekak daripada ada isinya, boro-boro tebel. Tapi gue enjoy....swear...!

Inilah kepuasan gue. Bisa dibilang kebahagiaan gue. Gue ngerasa bahagia banget jika pulang ke rumah ketika gue baru saja menghasilkan suatu karya.

Ngomong-ngomong, gimana suasana lebaran anda ? Pasti menyenangkan. Iya lah... kesenangan dan kebahagiaan itu gak bisa kita tuntut dari orang lain. Kita sendiri yang musti ciptakan suasana hati semacam itu.

Oiya, tapi ada yang terasa mengganjal pikiran plus perasaan gue. Belum sampai pada tahap resah sich, ngapain juga resah sama hal yang nggak penting buat hidup gue. Tapi kalo gue pikir-pikir, hal yang membuat persaan gue ganjel tadi rasanya kok penting juga.

Maksud gue, ini bisa jadi penting bagi kita buat meneropong dari sudut mana kita memandang kehidupan. Mungkin aja dari sudut pandang yang berbeda saat kita melihat hidup, bisa jadi beda juga cara kita memaknai hidup.

Wah, kok ribet amat sich... ? Gini dech... gue coba ceritain yang gue maksud tadi, dengan pengertian yang lebih sederhana.

Ceritanya, gue sama istri gue merayakan lebaran hari pertama. Setelah shalat Ied dan ngumpul bareng keluarga istri gue, gue lanjutin bersilaturahmi ke keluarga dan tetangga. Setelah itu pulanglah kami berdua ke rumah gue. Rencananya sorenya gue bakal melakukan perjalanan mudik ke keluarga gue. Bareng sama istri tentu saja.

Menjelang berangkat, gue masih terpaku di depan TV. Gue penasaran sama ending FTV di sebuah televisi swasta yang identik dengan warna biru diamond.

Istri gue udah teriak-teriak dari kamar.

" Pa....!! cepetan mandi... mama udah siap nich...! "

Maksudnya istri gue nyuruh gue mandi biar bisa cepet berangkat mudik. Bukan ngajakin yang yang lain. Hahaha...

" Bentar dulu ma... papa penasaran sama ending ceritanya nich.... " gue jawab dengan mata masih melototin layar TV.

Ceritanya tuh sebenernya gak istimewa banget.
Ada seorang dokter cewek. Masih muda dan cantik. Dia ditugaskan di sebuah desa terpencil. Dia harus merubah pola pikir masyarakat desa tersebut tentang pengobatan medis.

Saking terpencilnya, ke mana-mana dokter cewek tersebut harus jalan kaki berkilo-kilo meter buat menuju ke kliniknya. Nah, ceritanya ada seorang cowok yang sering dampingin tuch dokter cewek. Dari gestur-nya kayaknya nich cowok ada hati sama dia. Dan itu semakin terbukti dari perhatiannya sama si dokter.

Sebenernya si dokter males banget ditugasin di desa itu. Soalnya kliniknya gak pernah dapet pasien lantaran masyarakat di sana lebih suka nyembuhin penyakitnya lewat dukun desa.

Tapi ada dua hal yang membuat dia balik lagi ke desa itu. Alasan klasik dan sangat tinggi faktor kebetulannya gue rasa.
Pertama, saat si dokter itu balik ke kota dan pengen nunjukin surprise sama kekasihnya, dia menangkap basah cowoknya itu lagi bermesraan sama selingkuhannya. Nah, klasik banget kan ?

Kedua, setelah dia memutuskan buat balik lagi ke desa terpencil dimana dia ditugaskan, tiba-tiba dukun desa yang selama ini jadi dewa penolong sakitnya warga ternyata sakit. Singkat cerita tuch dokter bisa ngeyakinin warga dan keluarga si dukun agar bisa dia rawat. Nah, dengan berbagai macam analisis, akhirnya ditemukan apa penyakit sang dukun. Dan si dokter cewek itu berhasil menyembuhkannya. Jadilah mereka bisa kompakan dengan komunikasi yang lebih baik. Gak kalah klasik !

But, it's ok. Nggak ada masalah bagi gue.

Terus, apa nich yang jadi masalah yang ngeganjel di hati gue ?

Nah,... masih inget seorang cowok desa yang selalu mendampingi dokter cewek itu ? Keliatannya dia emang naksir sama tuch dokter. Tapi si dokter tetep aja gak ada tanda-tanda yang sama. Istilahnya tuch cowok bertepuk sebelah tangan, gitu dech...

Sampai suatu saat, karena kelelahan si dokter pingsan. Ditolonglah dia sama tuch cowok. Dibawa ke rumah si dokter dan ditungguin sampai siuman. Pas banget setelah siuman, bokap sama nyokap si dokter datang. Setelah ngobrol panjang lebar, bokap si dokter bertanya sama si cowok desa tadi.

" Terimakasih ya nak, sudah membantu anak saya di desa ini. Ngomong-ngomong lagi sibuk apa nich ? "

" Ya... biasalah pak, berkebun kecil-kecilan. Lumayan buat menyambung hidup. " Si cowok menjawab dengan tersipu malu. Belum habis si cowok menjawab, si dokter ikut menerangkan kegiatan cowok tadi.

" Iya pah... dia punya perkebunan melon tidak jauh dari sini. "

" Wah, besok papah harus lihat tuch... papah juga tertarik. " Kata bokap si dokter.

" Dengan senang hati pak. Kalau begitu, saya permisi dulu. Saya tunggu besok kedatangannya di perkebunan saya. " Akhirnya si cowok desa berpamitan.

Esok harinya, si dokter cewek beserta bokap nyokapnya bener-bener datang.

Nah di sinilah terjadi adegan-adegan yang memaksa gue buat merenung.

" Kok kamu bekerja di kebun pake baju lab ? " Tanya si dokter tiba-tiba. Dan pertanyaan ini membuat si cowok tadi gelagapan. Gak bisa menjawab.

Save by the bell.... bokap nyokap si dokter datang.

" Hai... luas juga kebun kamu nak... tanamannya juga bagus-bagus. Bagaimana kamu bisa membudidayakan tanaman sebagus ini ? "

Belum sempat si cowok menjawab, bokap si dokter tadi bertanya lagi. Kali ini dengan penuh antusias dan penasaran.

" Tunggu...! Sepertinya saya nggak asing dengan kamu, apa kita pernah bertemu ? Sebentar, saya ingat-ingat dulu. Kamu kan,... kamu....tunggu dulu sebentar. " Dan si bokap bergegas menuju gazebo di sudut kebun. Membuka tasnya, dan mengambil sesuatu.

Sambil berlari kecil si bokap membuka sebuah halaman dalam majalah yang ada di tangannya.

" Untung saya membawa majalahnya. Ini kamu kan nak ? "

Terpampanglah sebuah foto dalam sebuah halaman majalah. Tertera judul artikel di samping fotonya : " Mahasiswa Berprestasi, Mengembangkan Melon Varian Baru " Lalu di bawahnya terpampang satu paragraf headline yang berbunyi :

Seorang mahasiswa berprestasi bernama......( gue lupa namanya ) berhasil mengembangkan varietas baru buah melon. Ini adalah hasil riset yang dilakukannya untuk mengambil gelar S 2 di....( sebuah PTN terkenal ).

Si dokter cewek kaget. Marah,

" Jadi kamu selama ini.... " kata-katanya nggk dilanjutin. Dia memilih berlari sambil menangis menahan kemarahan.

" Kok kamu masih diam di sini ? Kamu tau ? Kalau seorang wanita berlari menjauh, itu tandanya dia minta untuk dikejar ! " Kata bokap si cewek. Wah,... lampu ijo nich....

" Sekarang pak ? " Tanya si cowok dengan culunnya, meminta ketegasan.

" Apa yang kamu tunggu ? " Kata si bokap meyakinkan.

Kelanjutannya bisa ditebak. Nggak perlu gue ceritain detailnya. Sampai pada suatu pagi, mereka berada di gazebo kebun. Si cowok berpamitan untuk pergi ke kota untuk menguji risetnya. Mereka berbincang serius. Dan mungkin ini satu-satunya dialog yang gue suka.

" Aku merasa berat untuk melepasmu pergi. Tapi aku mencoba untuk memahami apa yang harus kamu lakukan. " Kata si cewek

" Aku juga berat meninggalkanmu. Tapi semua yang kulakukan kupersembahkan untukmu. Aku yakin itu, seyakin diriku merasa bahwa kamu akan menunggkuku di sini. " Wuih.... mantap.

" Aku percaya dengan apa yang akan kau lakukan, seperti percayanya aku terhadapmu, bahwa kamu pasti akan kembali menemuiku, di sini. " Ugh... gue gue jealous.

Singkat cerita, di tempat yang sama beberapa bulan kemudian. Mereka akhirnya membuktikan kata-kata yang menjadi janji terakhir mereka. Si dokter cewek akhirnya memang menunggu. Dan si cowok memang menepati janjinya buat kembali.

Seperti kalimat penutup dalam dongeng masa kecil : " and they lived happily ever after... "

Ujungnya gue bengong... sampai-sampai gue gak ngerasa waktu istri gue ngelempar anduk ke muka gue. " Mandi.... FTV-nya udah abis tuch... "

Nah,... analisa gue sama FTV yang " terpaksa " gue tonton tadi adalah :

Pertama, kalo diliat dari sisi bahwa film itu dibuat dan dinikmati sebagai hiburan semata, gak masalah lah... namanya juga hiburan ringan.

Tapi kedua, gue kok ngerasa terganggu dengan yang namanya cinta. Tepatnya cinta yang berlandaskan ketulusan. Tanpa kalkulasi duniawi. Udah jarang kali ya yang kayak gitu ?

Gue punya beberapa pertanyaan tentang keputusan cinta si dokter cewek muda itu.

Gue nggak liat ada tanda-tanda cinta dari si cewek itu sebelumnya. Tapi cinta itu tumbuh setelah dia tau bahwa cowok itu ternyata selevel dengan dia. Gawat...

Okelah... anggap aja sebenarnya si cewek juga sebenarnya cinta. Tapi keliatannya dia lebih memilih untuk menepiskan perasaan itu. Dan ketika dia tau level cowok itu, maka dia bersedia untuk menyemaikan benih cinta itu. Gawat juga...

Terus bokapnya. Dia merelakan putrinya untuk menjalin cinta dengan cowok kampung itu karena hal yang sama. Level yang sepadan. Nah.... udah triple gawat nich....

Pertanyaan gue :

Apakah si dokter cewek itu akan jatuh cinta kalo ternyata si cowok hanyalah anak desa biasa ?
Apakah dia akan bersedia menyemaikan cintanya jika ternyata si cowok asli hanya anak kampung yang nggak selevel dengan dia ?
Apakah bokapnya akan merelakan putrinya jatuh cinta dengan anak desa itu jika sebenarnya dia bukan mahasiswa berprestasi ?

I don't think so... Gue nggak yakin.

Analisa gue yang ketiga adalah : welcome to real world !

Kita tidak sedang hidup di negeri dongeng yang penuh fantasi. Dimana seorang pangeran buruk rupa dicintai secara tulus oleh seorang putri, dan ketulusan cinta itu melepaskan kutukan yang menimpa pangeran dan mengembalikan keadaannya menjadi pangeran tampan.

Dalam cerita tadi, sang pangeran tampan baru dicintai setelah sang putri tau benar bahwa dia adalah sang pangeran, dan bukan rakyat jelata.

Lalu gimana yach... kalo pangeran kodok dari negeri dongeng tersesat ke negeri nyata kita ini ? Wah,... kayaknya sampai matipun dia nggak akan bisa lepas dari kutukannya. Karena ketulusan dari sang putri yang wanita cantik dan bermartabat tinggi sudah punah di dunia nyata.

Ada nggak yach... karakter seperti dalam FTV tadi yang berperan secara tulus mencintai apa yang menjadi getar hatinya, meskipun cowok yang dicintainya hanya orang biasa ?

Ada nggak yach... karakter yang keukeuh mencintai tanpa syarat secara tulus dan sederhana, yang ketika dia tau bahwa kekasihnya bukan " orang biasa ", kemudian dia menganggap hal itu hanyalah sebagai bonus ?

Gue harus angkat bahu !

Tapi okelah.... daripada pusing, gue anggap aja itu sabagai hiburan semata.
Gue gak ada masalah sama penulis ceritanya.... semoga keep on writing.
Bahkan gue musti angkat jempol ! Kenapa ?

Karena di tengah banyaknya teriakan mengangkat realita, justru inilah relita. Hebat banget !

Diakui atau tidak, inilah potret masyarakat dunia sekarang ini. Faktanya memang begitu. Banyak yang harus diperhitungkan untuk memberi dan menerima cinta. Busyet...!!!

" Cinta sih bisa numbuh sendiri.... asal ada reward-nya " Walah....!

Gue banyak nemuin, cewek yang nangis-nangis ketika dikawinin, menolak dijodohin sama cowok yang menurut orang tuanya selevel. Tapi toh, ternyata hamil juga, punya anak juga, banyak malah. Yang gue liat sich cukup comfort dan enjoy banget.

Sementara gue yakin, dalam FTV tadi kalau si cowok memang beneran rakyat biasa, dia pasti akan tetep gigit jari.

Ya... begitulah sob....
Inilah realita...
Relita level !

12 September 2009

Lebaran ?

Sebentar lagi lebaran. Kalo siang jalan penuh, pasar penuh. Kalo malem, sama aja. Jalan penuh, mall penuh.

Gue ngerasa, lebaran selalu membangkitkan romantisme waktu kecil. Dimana gue sama temen-temen gue masih lengkap pada ngumpul. Komplit... plit. Belum lagi emang karakter anak-anak yang taunya seneng aja. Gak mau tau, pokoknya bokap nyokap mesti nyediain baju baru. Gue juga gitu. Meskipun gue sama adik-adik gak minta, bokap nyokap selalu beliin baju baru. Bukan apa-apa, kali aja mereka cuma bisa beliin itu setaun sekali. Hehehe... jadi pas moment-nya.

Itu juga kali yang jadi magnet terkuat bagi mereka yang tinggal jauh dari kampung halamannya. Lebaran sama dengan mudik, kesempatan buat bertemu dengan sanak keluarga. Syukur-syukur bisa kumpul lagi sama temen-temen masa kecil.

Anda punya kenangan lebaran masa kecil ? Pasti punya dech. Sekarang coba hitung, berapa banyak dari kenangan itu yang termasuk kategori lucu ? Hampir semuanya kan ?
Nah, gue juga bakal ceritain kenangan lebaran masa kecil. Bukan cerita gue sich, tapi temen gue yang pernah ceritain itu sama gue. Sekarang gue share di sini.

Begini ceritanya :

Temen gue punya bapak. Pasti lah... masa gak punya bapak, emang bisa numbuh sendiri ?
Bapak dari temen gue ini seorang pegawai kecamatan. Dia punya banyak sepatu kulit. Tau kan, sepatu fantofel jadul ? Yang hak belakangnya tinggi, trus kalo jalan di lantai suaranya mirip suara kaki kuda ?

Di rumah temen gue itu ada beberapa pasang sepatu bekas yang udah gak bisa dipake. Kebanyakan karena kulitnya udah kusam, ato bahkan retak-retak. Tapi ada sepasang yang kulitnya masih mulus...mengkilap. Tapi sayang salah satu haknya udah lepas.

Nah, sepatu ini nich yang diincer sama tetangga temen gue. Orang yang ngincer sepatu ini udah berusia agak tua, kalo 50 tahun sich kayaknya lebih, banyak malah.

" Pak, menawi mboten dipun agem sepatu puniko ajeng kulo pek kemawon " ( Pak, kalo gak dipake sepatu itu mau saya minta saja. ) Begitu katanya.

" Silakan aja mbah, tapi itu solnya lepas. Besok biar dibetulkan dulu ya ? " kata bokap temen gue, si empunya sepatu.

" Nggak usah pak, biar nanti saya betulkan sendiri saja " katanya.

" Ya terserah mbah kalo begitu. " bokap temen gue mempersilahkan.

Suka cita, si mbah tadi berlari-lari kecil sambil gak ada hentinya bilang terimakasih. Terus berjalan sambil bersiul-siul menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Seneng banget raut mukanya.

" Ini lho bu... sepatu kulit, yang bapak inginkan. Sekarang bapak punya. " kata si mbah sambil memeluk tuch sepatu seperti memeluk kucing kesayangan yang udah lama ngilang.

" Lho,... bapak dapet dari mana hayo...? Nemu di mana coba ? " tanya istrinya kuatir kalo-kalo suaminya jadi penadah barang curian.

" Ada deeeeech...! " jawabnya sambil niruin gaya bicara ABG jaman sekarang. Padahal waktu itu masih jadul. Wah... ngeduluin tren nich si mbah.

Dielapnya sepatu kulit itu dengan sangat hati-hati. Karena di rumahnya gak ada semir, dia kerok jelaga dari pantat panci istrinya di dapur, dia campur sama minyak goreng dikit. Abis itu dia gosokin tuch ramuan ajaib ke sepatu kebanggaannya. Lumayan, mengkilap juga.

Giliran sol sepatu sebelah kanan yang jadi fokus dia sekarang. Gimana caranya buat nempelin sol sepatu tadi. Akal punya akal, dia nekat ambil paku dan martil. Dengan mantap dia lekatin lagi sol sepatu yang lepas tadi dengan memakunya. Arahnya dari arah bawah sepatu. Dia tersenyum puas....

Si mbah tadi ngeliatin sepatunya terus. Diamatinya lekuk-lekuk sepatunya. Dalam hatinya dia berkata : " Akan aku pakai buat lebaran. " Yo wis lah. Sakkarepmu !

Lebaran tiba. Si mbah bangun pagi-pagi banget. Bersiap buat shalat Ied di alun-alun kecamatan. Bersarung, berbaju batik, berkopiah.....bersepatu !!! Ya, sepatu kulit yang dielus-elusnya selama ini. Istrinya cuma diem sambil geleng-geleng kapala dan berkata : " Puber ke tiga barangkali ! "

Berangkat shalat Ied. Dengan sangat berhati-hati si mbah ini berjalan seperti gak rela ada sebutir debupun hinggap di sepatunya. Gak boleh ada setetes embunpun yang boleh nempel di kulit sepatunya. Bahkan dia udah nyiapin tas plastik buat ngebungkus tuch sepatu.

" Biar nggak ada yang nyuri. " bisiknya sama temen gue, sambil meringis.

Selesai shalat Ied dan khutbah, jamaah berhamburan ke rumah masing-masing. Juga si mbah dan istrinya. Dalam pelupuk matanya terbayang opor ayam plus lontong yang lembut buatan istrinya. Sedap banget keliatannya.

Bergegaslah dia. Perutnya lapar karena beberapa hari ini gak doyan makan gara-gara mikirin sepatu kulit pujaannya. Jadilah sepatu itu sekarang agak sedikit terlupakan. Langkahnya cepat. Sesekali disekanya sepatu itu dengan ujung sarungnya. Melewati jalan berbatu, langkah kakinya berangsur aneh. Agak berjingkat jingkat. Tapi dia tetep berjalan hingga sampailah di rumahnya. Istrinya terengah-engah menyusul di belakangnya.

Ada perasaan perih di telapak kakinya. Dibukalah sepatu yang dipakenya. Tumit sebelah kanannya berdarah. Tepat di tumit kaki kanan. Sisi sepatu yang lepas solnya tadi dan sempat dia rekatkan dengan paku.

Ternyata, di sinilah masalahnya. Paku yang dia pake buat nempelin sol sepatu tadi, ukurannya sedikit lebih panjang dari sol sepatunya. Awalnya gak terasa. Tapi setelah jalan cepat di jalan berbatu tadi, pakunya makin melesak ke dalam. Mencuat mengenai kakinya.
Oalah mbah...mbah...!

Tapi kecintaannya sama sang sepatu kulit tadi memang begitu besar. Habis makan, dia mengajak istrinya buat silaturahmi ke tetangga-tetangga. Yap ! Dengan sepatunya.

Tapi kali ini dia alasi lagi dengan kertas karton. Jalanlah dia dengan gegap gempita.
Gak ngaruh... si karton tembus juga. The show must go on. Nekat ! Dia lepas sepatunya, dia cabut copot lagi sol sepatu itu dengan tangannya. Senyum dikit, terus pake lagi.

Terpincang-pincang tentunya. Bukan karena kakinya sakit, tapi karena sepatunya tingi sebelah. Tapi si mbah tetap berjalan dengan percaya diri. Hebaaaat !

Nah, cerita tadi terjadi jelas bukan karena salah yang ngasih sepatu. Tapi ada juga cerita lain yang terjadi karena salah yang ngasih.

Ceritanya, ada seorang nenek tua. Anak-anaknya semuanya udah berhasil jadi orang lah ceritanya. Tapi mereka hidup di luar kota. Jadilah si nenek itu hidup dengan ditemani seorang pembantu yang juga udah berumur.

Menjelang lebaran si nenek pesen sama anak-anaknya.

" Kalau ada baju-baju bekas yang layak pakai, tolong dibawa ya ? Nanti ibu kasihkan kepada yang butuh. " gitu pesennya.

Bener aja, seminggu sebelum lebaran anak cucunya ngumpul di rumah sang nenek. Buat menyambut lebaran ceritanya.

" Pesenan ibu mana ? " si nenek bertanya harap-harap cemas.

" Itu bu, di kardus cokelat itu. " jawab anaknya.

Singkat cerita, si nenek langsung ngebongkar tuch kardus dan milihin baju-baju yang bakal dia kasih ke orang.

" Ini buat kamu, dan ini buat suamimu, terus yang ini buat anak-anakmu. " kata si nenek sambil ngasih ke pembantunya.

Legalah si nenek. Keinginannya udah tercapai.

Tibalah saat lebaran. Saat acara silaturahmi, datanglah si pembantu berdua dengan suaminya.

" Kok cuma berdua ? " si nenek bertanya.

" Iya bu, anak-anak masih di tempat mbahnya. " kata pembantunya.

Sepasang suami istri pembantu tadi ngerasa gak enak banget. Pasalnya mereka ngerasa dirinya diliatin tamu lain sambil senyum-senyum menahan tawa. Gue dan temen-temen yang kebetulan ada di situ juga gakkuat nahan tawa. Gimana tidak ?

Coba bayangin ! Sepasang suami istri yang udah berumur, penampilannya mirip guru dengan muridnya. Suaminya jadi murid, istrinya jadi guru. Masih belom ngeh yach...?

Gue terangin.
Si istri pake rok panjang warna biru, sedangkan bajunya adalah baju Korpri. Tau kan baju Korpri ? Nah, suaminya pake Celana panjang cokelat tua, dengan baju cokelat muda yang masih komplit dengan atribut-atribut. Ya, seragam Pramuka. Nah lho....!

Nah, ini jelas salah yang ngasih.

By the way, anda juga pasti punya pengalaman lain saat lebaran. Dan itu pasti akan teringat dengan jelas saat leberan tiba. Seperti beberapa hari lagi.

Tapi yang gue rasa sekarang, lebaran bagi gue udah punya makna yang berbeda dibanding saat gue ngerayainnya waktu kecil dulu. Sekarang ini banyak tanggung jawab yang harus dipikul, bahkan beban saat harus ngerayainnya. Semuanya mungkin karena tradisi.

Tapi terkadang gue ngerasa kangen dengan atmosfer lebaran masa kecil. Sepertinya sekarang kita kehilangan euforia saat kita bersama temen-temen bersorak gembira :

" Hore,....besok lebaran...!!! "

Kita kehilangan rasa sukacita yang teramat sangat ketika memakai baju baru dan terima angpau. Kita kehilangan suasana ketika bersama-sama berlarian di jalan yang ramai orang. Yah, inilah hidup. Harus ada yang berubah seiring dengan kedewasaan.

Selamat berpuasa di sepuluh hari terakhir, selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri.

08 September 2009

Akhir Yang Mengawali

Gak enak yach ternyata punya janji. Kita jadi dikejar terus sama tanggung jawab buat menuhinnya. Tapi gak papalah. Dengan gitu kita jadi punya chalenge dalam hidup.

So, buat anda yang gemar banget sama yang namanya tantangan yang memacu adrenalin waktu dikejar-kejar tanggung jawab, bikin aja utang yang banyak. Dijamin, banyak juga debt collector yang ngejar-ngejar anda.

Kalo gue sich, boro-boro kelenjar adrenalin yang terpacu, malah kelenjar sekresi yang mendadak jadi terpacu dengan aktifnya. Alhasil, gue pis di celana !!!
Cemen ? Biarin aja, orang gue pis di celana gue sendiri. Hehehe...

Apa kabar semuanya ? Thanks yach...udah ngasih komentar buat posting tulisan gue. Juga makasih yang udah shout di chat. Bener dech, gue appresiate dengan anda yang telah mau mampir dan sedikit telaah apa yang gue tulis.

Jadi, apa nich tanggung jawab yang musti gue kelarin ? Oiya,... soal lamaran !!! Eh, bukan dech kayaknya. Perasaan gue belom punya rencana buat ngelamar....
Yang bener tuch tentang ramalan yang pernah ditujuin buat gue.

Pagi hari. Selama beberapa tahun terkahir ini gue selalu dibangunin sama langakah kaki. Iya, langkah kaki penyiar pagi yang menuju ruang pemancar.

Gue sampe apal banget dan tau langkah si empunya kaki. Waktu siaran di Tegal, gue inget ada beberapa karakter langkah kaki penyiar pagi.

Kalo langkahnya gedebak-gedebuk seperti duren jatoh dari pohon, itu pasti Tammy. Gak jarang juga dia langkahin gue seenaknya dengan cuek kalo gue kebetulan tidur nggelosor di koridor antara raung siaran dengan ruang pemancar.

Kalo langkahnya flamboyan, berjingkat-jingkat takut gue bangun, itu pasti Pak Aris, sang Station Manager yang masih doyan siaran. Dari sudut mata yang gue buka sedikit, gue liat dia suka ngelirik gue atau sejenak mandangin gue. Wah gawat, jangan-jangan dia naksir gue.....

Kalo langkahnya berat seperti langkah gajah bengkak lari pagi, gak salah lagi, itu Andi dengan badan tambun buletnya. Suka nendang pantat gue, terus gue liat dia berlalu megal-megol sok sexy.....

Nah... kalo langkahnya tergopoh-gopoh sambil ngedumel simpang siur, gue tau pasti. Itu pak Satpam yang ngomel gara-gara penyiar pagi belom dateng. Jadilah dia yang harus nyalain pemancar plus perangkat siar lainnya. Kemudian baca log siaran, Lumen 2000 mana lagi yang harus dia puter. Lumen 2000 adalah peket siaran rohani Kristiani di Radio Sananta waktu itu.

Kalo langkahnya mantap, tertata berirama sambil bersenandung lagu rohani Kristiani, gue yakin itu Pak Yan Lesmana. Dia sich cuek aja. Cuman kalo pas dia siaran dia suka berenti sejenak dan mandangin gue kalo pas gue tidur di ruang siaran.

Gue gak bisa artiin maksud pandangannya. Dia naikin lagi fader di mixer, ngomong beberapa kalimat, terus mandangin gue lagi. Gue pikir, gawat juga nich.... Nah lho... dia mencopot head set yang bertengger di kepalanya. Menuju ke arah gue. Gue takut setengah mampus, jangan-jangan....

Pak Yan semakin deket, dan dia pegang pundak gue.
Gue gak berani tengkurep waktu itu.Takut.
Tau kan maksud gue ?
Dia pegang lagi lengan tangan gue. Kali ini lebih kenceng. Lalu tubuh gue digoncang-goncangin. Gue akhirnya melek. Trus dia bilang : " Maaf dik, ngoroknya masuk ke mic ". Anjriiittt...

Nah, waktu gue siaran di Cirebon juga gitu. Sama ritualnya. Membaca langkah.

Kalo langkahnya lincah bener, sigap gitu.... mirip kancil, itu pastilah Program Director gue. Edwin Bangun. Selalu seger. Dia terbiasa mandi dulu sebelum siaran pagi.

Kalo langkahnya lebar-lebar seperti orang loncat-loncat, gue tau. Itu Tito. Matanya kadang sembab gara-gara malemnya abis nge-DJ.

Kalo langkahnya mantap, tapi sambil terbatuk-batuk, itu Mas Rangga. Reporter gue.

Kalo langkahnya gontai, sambil setengah merem, dan terseok-seok megangin tembok, gue juga tau. Tanpa mandi ato cuci muka, langsung nyalain pemancar. Masuk ruang siaran, nyalain perangkat siaran lainnya. Mencoba buat melek dan sok kuat. Sekali lagi gue tau siapa dia. Dialah gue....!!!

Satu lagi biar komplit. Kalo gak ada langkah tapi bersuara seperti karung beras yang diseret. Itu gue gak tau. Belakangan aja gue tau kalo itu suara suster ngesot pulang pagi.... Sereeeeemmm.

Ya gitu itu, dari awal gue kerja di radio, gue memang selalu tidur di studio. Lebih nge-blend gitu gue rasa. Makanya, biar punya tempat kos juga jarang banget dipake.
*********

Nah pagi ini berbeda. Ada semangat baru. Ini hari pertama gue kerja di DBFM Cirebon. Dengan alasan belom dapet tempat kos, gue tidur di studio. Padahal emang gitu niat gue. Sekalian ngirit lah...

Waktu itu gue bangun pagi. Udah seger, soalnya gue sempetin mandi. Gue duduk di ruang produksi. Job disc awal gue emang di bagian produksi. Ruang produksi ini sekalian jadi ruang kerja gue. Nyaman juga. Lebih nyaman lagi di ruang buat take voice. Itu merangkap sebagai ruang tidur gue. Masih di ruang yang sama, hanya disekat kaca.

" Elu bisa kerja dengan baik gak ? Elu mampu ? Elu sanggup ? Kalo gak sanggup training elu bisa satu tahun. Ngerti ? "

Wuih... General Affair gue tuch nyerocos. Gue diem aja. Ngeper juga, tapi kata hati gue, ngapain juga dipikirin ? Kerjain aja dulu.

Jam kerja dimulai. Hari itu gue langsung dapet lembaran-lembaran order iklan lengkap dengan product knowledge yang musti gue bikin iklannya.

" Tolong elu pelajari ini, trus langsung aja dibikin iklannya. Hari ini juga client mo liat hasil iklannya. Besok mulai tayang ." Kata Nina, marketing yang bohay abiss.

" Jam berapa dead line-nya mbak ? " tanya gue.

" Jam sembilan harus udah elu cetak ke CD ! " katanya.

Mampuss... sekarang jam 8. Gue cuma punya waktu satu jam. Dan itu termasuk proses burning CD yang waktu itu bisa makan waktu lama. Keringat dingin dech... keluar dari kening, leher dan punggung gue. Chalenge sich chalenge.... tapi ini first project gue di sini.

Untunglah gue sempet vacum beberapa bulan dari dunia radio. Biasanya banyak ide-ide yang menunggu waktunya buat meledak. Gue pelajari product knowledge-nya, gue cari unique selling point-nya. Gue cari kalimat-kalimat yang isa jadi head line iklan gue.

Kebiasaan gue, kalo bikin naskah iklan gue ucapin dulu, baru gue tulis, ucapin lagi, koreksi sana sini, dan jadilah naskah gue.

Nah, masalah kembali muncul. Gue bingung cari talent buat voice over. Emang sich gak ada dialog dalam naskah gue. Tapi siapa nich yang bakal isi suaranya ? Gue belom kenal karakter vokal temen-temen penyiar gue.

Akhirnya gue temuin Edwin Bangun, si kancil,Program Dir
ector gue.

" Siapa nich mas, yang cocok buat voice over iklan ini ?" gitu kira-kira pertanyaan gue.

" Elu aja ! " katanya.

" Hah !!! Gu gu gue mas ? " gue tergagap.

" Iya, elu.... " dia menekan gue.

Gawat nich... bukannya gue gak bisa, tapi gue malu pas nanti presentasi iklan ini di depan client.

" Ya udah dech mas, gue coba. " kata gue kemudian.

Jadilah gue operate rekaman sendiri, edit sendiri, mixing sendiri selain naskah yang gue tulis sendiri. Masalah lagi, naskah gue kepanjangan, lewat dari durasi 60 detik. Gue potong bagian tengahnya yang merupakan detail produk. Jadi. Gue review lagi. Ok, gue nyatain jadi. Ready to burnin' on CD.

Jam 9 lewat. Client mendekat ke ruangan produksi, ruang kerja gue. Setelah tadi gue liat orang-orang ini di balik pintu kaca ruangan Pak Albert Massie, Direktur Marketing, gue jadi ngeper lagi. Dari ekspresi mukanya, gue simpulin nich orang bakal susah permintaan-permintaannya.

Mereka masuk ke ruangan gue. Salaman. Basa basi bentar. Dan tiba saatnya gue puterin iklan hasil karya gue tadi. Habis itu gue terangin konsep gue. Kenapa harus monolog, kenapa gue angkat sisi ini sebagai selling point-nya, gue ajukan argumentasi kenapa gue pake background music dan special effect ini dan itu.

Hasilnya.
" Ok, cukup ! " kata client gue.

" Hah ? " gue kaget.

" Iya, udah cukup. Besok iklan ini aja dinaikin sesuai order. "

Client gue berpamitan. Direktur Marketing menyusul di belakangnya setelah dia salamin gue sambil berkata :

" Good job, Reza ! Langsung aja spotnya lu transfer ke ruang siaran. "

Alhamdulillah...
*****

Serius nich. Hari ini gue kayak dipelonco.
Hari-hari itu menjelang tahun baru. Kalo gak salah menyambut Tahun Baru 2002. Gue harus bikin spot promo DB buat tahun depan. Seneng juga sich... hari itu semua temen penyiar ngumpul di ruang kerja gue. Masing-masing dengan idenya.

Konsepnya
on the spot aja. Ngalir. Gue cuma rekam aja voice-voice mereka. Nah, dari kata-kata dalam rekaman voice itu gue muncul ide sendiri di mana gue harus cut, cue apa yang musti gue pake, di mana gue tempatin smash.

Gue denger Mas Edwin bilang :

" Kalo dah jadi langsung tayang yach....? "

" Siap mas ! "

Mereka semua keluar dari ruangan gue. Yes, ini ruangan gue. Ini atmosfer gue. Gue sering merasa
trance ketika ngerjain proyek editting audio seperti ini. Feel gue jalan banget gitu kalo ngerangakai kata-kata sama cut music. Enjoy banget.

Sorenya, spot promo itu gue transfer ke ruang siaran. Sekalian gue isi list-nya di log iklan. Maksudnya biar penyiar punya pegangan, harus diputer di jam dan menit ke berapa.

So far so good. Sampai gue dengar Boti, penyiar yang ekspresif karena hormon kemayunya lebih banyak melonjak-lonjak kegirangan sambil berlari ke arahku :

" Lucu banget ! Keren mas Reza ! " katanya.

" Gue kira kita kasih tepung jadinya kue lapis. Gak taunya jadi donat ! Lucu banget ! "

Ujian belom berakhir. Habis maghrib gue ikut nongkrong di ruangan
manager. Ada tiga orang di sana :

A. Mas Edwin si Program Director.
B. Mas Bagoes, Generl Affair yang pagi tadi gertak gue.
C. Gue sendiri, karyawan baru yang in charge di bagian produksi.

Ngobrol ngalor ngidul. Yang mas Bagoes curhat tentang cintanya lah...Yang Mas Edwin pengen cari tempat kos lah. Kok tempat kos ? Iya lah, kami memang selama ini tidurnya di kantor.

Mas Edwin tiba-tiba tanya sama gue.

" So, kenapa elu pilih jadi penyiar radio ? "

Aku gelagapan, kok tiba-tiba dia nanya gitu ?

" Ya, kan mas Edwin udah tau jawaban gue waktu audisi dulu ! " jawab gue. Memang, dari tahapan-tahapan seleksi, gue banyak ketemu sama dia.

" Gue pengen tanya lagi. Jawab aja. " Uh, dia mulai menyerang gue nich...

Gue akhirnya nyerocos,

" Gue ini kan gak bisa ngomong mas, tapi kalo udah masuk ruang siaran, apa juga gue omongin. Dan kenepa gue tertarik sama dunia siaran, karena gue paham banget kalo penyiar tuch gak asal nyerocos. Ada banyak tahapan buat seorang penyiar sebelum dia masuk ruang siaran. Semacam
preparation gitu lah mas... "

Mas Edwin kemudian ngambil setumpuk berkas yang udah dibendel dalam satu buku. Sambil ngelemparin tuch buku Mas Edwin berkata setengah teriak,

" Nich...!
Peraparation elu !!! Jam 10 malem nanti elu bawain talkshow. "

Gue baca proposal dari
client yang esok pagi mau ngadain seminar. Dan talkshow malam ini buat preview sekaligus promo seminar besok itu. Wah berat juga nich.

" Gak bis gitu donk mas ! Masa mepet banget sich... kan gue belom tau latar belakang acara ini. Lagian gue kan gak kenal sama narsumbernya. " kata gue.

" Elu kan bisa belajar dari situ. " jawab Mas Edwin.

" Dalam kontrak, siapa yang jadi host ? " kata gue menghindar.

" Gak ada klausul tentang
host ! Gue bebas, hahahaha " Mas Edwin merasa menang.

"
Koe kalo gak mau, bener-bener lho training-mu setahun, mau ? " Mas Bagoes menimpali. Biasa, dengan logat Jawanya yang kental. Padahal dia itu Pujakesuma ( Putra Jawa Kelahiran Sumatra ).

" Ya udah dech...gue siaran
talkshow ! " Gue nyerah. Bukan karena tertantang, tapi lebih karena gue tuch susah buat bilang " tidak ".

Jadilah jam 10 malam gue siaran talkshow. B
locking time. Maksudnya selama satu jam siaran itu udah sibeli sama client. Gak boleh ada iklan masuk. Gue liat rundown-nya. Busyet... cuma 2 kali muter lagu. Bakalan kering nich tengorokan. Itu masih mending. Yang gawat kalo yang kering idenya.

Buka
mic, bla bla bla...opening ok...Ice breaking mulus. Mas Edwin tadi sedikit briefing gue tentang karakter narasumber, jadi gue udah punya bahan.

Setengah jam lewat. Ini nich
talkshow tentang produk kesehatan untuk vitalitas pria. Wah... untung aku hobby baca. Jadi aku punya referensi buat bahan. Untungnya lagi, nich narasumber kalo udah bicara nyerocosnya susah buat disela. Kupikir enak lah... gue bisa manfaatin waktunya buat lemparin pertanyaan baloon (pertanyaan yang muncul berdasarkan jawaban narasumber).

Semuanya lancar gue kira. Kadang-kadang aku bawa pertanyaan yang agak sedikit vulgar. Gak papa lah, kan jam malam. Kulirik ke ruang
manager dari jendela kaca ruang siaran. Mas Edwin dan mas Bagoes tertawa-tawa. Entah karena lucu, ato karena mereka lagi bilang : " Rasain lo !!! "

Talkshow berakhir. Narasumber pamitan. Respon penelepon malam ini ok juga. Gue lega.
*****

Besoknya.
Jam 9 pagi meeting program. Semua penyiar, baik yang full time maupun yang part time datang. Ya... gue gak usah ceritain jalannya meeting yach... itu urusan internal. Yang jelas, pada saat santai setelah meeting, Pak Albert mulai cairin suasana.

" Si Reza, semalem ngomongin mitos sex....Hahaha " gitu katanya.

" Tapi bagus kok pak. " kata
Program Director gue.

" Ya, ya bagus. Gue salut ! " kata Pak Albert lagi.

Giliran si Boti angkat bicara. Biasa... dengan analogi tepung andalannya.

" Kemaren kita
take voice. Kita kirain mo jadi apa. Gak taunya keren banget jadinya. Kita kasih tepung, kirain mo...."

" Jadi kue lapis, eh jadinya donat " Gue ngikutin dalam hati.

Moment itu gue inget banget. Sampe sekarang.
*****

Begitulah, akhirnya gue bekerja di situ dengan berbagai tantangan dan pencapaian.
Sampai pada suatu saat Mas Edwin harus
resign. Keluar dari DB.
Aku kecewa. Salah satu alasan kenapa gue masuk DB karena ketika aku mencari radio tempat gue bekerja, radio itu musti jadi tempat gue buat belajar lebih banyak. Nah DB memenuhi kriteria itu. Salah satunya karena ada dia.

Ok, Mas Edwin panggil gue ke ruangannya.

" To the point aja ya, gue berrencana buat
resign. " katanya

Gue diem aja. Mencoba cerna kata-katanya.

" Gue mau ngusulin elu buat gantiin posisi gue. Tapi ternyata
management udah punya rencana yang sama. " lanjutnya.

" Kenapa gue mas ? Kan banyak yang lebih senior, gue gak enak mas. " kata gue.

"
Management ngeliat itu dari kinerja plus potensi. Bukan karena senioritas ! "

Singkat cerita gue emang akhirnya jadi Program Director. Di satu sisi ini adalah pencapaian. Di sisi lain, ini tantangan bagi gue. Apakah gue bisa ngejalanin program dengan baik ataukah degradasi kualitas program.

Berat banget tanggung jawab seorang
Program Director. Image sebuah statsiun radio dipertaruhkan di pundak gue. Posisi tertinggi di radio siaran.
Dalam struktural emang di bawah direktur.
Tapi secara fungsional
Program Director adalah posisi tertinggi dalam program. Jadi gak boleh ada intervensi dari manapun. Termasuk direksi.
Seenggaknya itu yang gue tau dari pelatihan-pelatihan. Formalnya gue tau itu menurut
Michael C. Keith dalam buku Stasiun Radio - Pemrograman, terbitan Internews Indonesia tahun 2000.

Meskipun pada kenyataannya susah banget nerapin idealisme itu. Setiap gue dikirim ke pelatihan di manapun, ketika mau nerapin hasilnya, coba aja dech.... kalo bisa dan gampang.
Nah, soal yang satu ini gue bakal ceritain kapan-kapan. Ok ?

Tapi,
finally... gue berhasil mencapaiya.
Dan ini mungkin bukti dari apa yang pernah diramalin Mas Shanto, Program Director gue waktu di Tegal.
Gue yakin itu bukan ramalan. Yakin banget bukan.
Hanya, yang gue liat mungkin keyakinan. Keyakinan bahwa kalo gue tetep konsisten dengan karakter kerja sepetrti yang dia liat, pasti akan membuahkan hasil yang sesuai. Bahkan lebih lagi kalo ada ketulusan. Itu kesimpulan gue.

So, gue ingin dedikasikan tulisan ini buat beliau, Mas Shanto Ardy, yang kurang lebih sudah satu tahun ini dipanggil ke hadiratNya. Semoga spiritnya masih terjaga.

Gak lupa juga buat mangement PT Radio Sananta Gelora Tegal & PT Radio Dayabumi FM Cirebon. Terimakasih atas penilaiannya terhadap potensi dan kinerja. Semoga sukses.

Uh,... terbayar kan janji gue ?

03 September 2009

Sehelai Daun Cinta Dan Kesetiaan Mentari


Helaian daun kering jatuh satu demi satu dari pucuk cemara tepat di depan pintu ruang kerjaku. Aku termenung memandanginya. Lalu tampak olehku sehelai daun itu bergelayut, terombang ambing dipermainkan angin. Entah berapa lama dia berjuang memeluk ranting tempat dia bergantung. Hukum alam tak dapat ditolak olehnya. Diapun harus merelakan dirinya terhempas memeluk tanah.

Aku masih memandanginya. Bahkan kunikmati proses yang mengiringinya. Dimana perlahan pegangannya mulai terlepas. Bergoyang sedikit ke kanan, lalu meluncur turun. Dan angin siang ini sedikit membawanya berputar sehingga tidak serta merta helaiannya jatuh meluncur deras menghempas kerikil di bawahnya.

Di tengah dia tergolek lemah, aku melihatnya masih tersapu angin beberapa lama sampai akhirnya terdiam di sela tumpukan batu. Aku berpikir. Mungkin saat ini dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

“ Ah, untung saja sang angin megajakku melayang terlebih dahulu ke berbagai arah. Hingga aku tak perlu mengorbankan tubuhku dihempaskan ke kerikil tajam di bawah sana.”

Baginya selalu ada hikmah. Dia bersyukur terselamatkan dari kejatuhan yang menyakitkan. Dan memang benar. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ketika dia urung jatuh secara vertikal ke bawah. Angin membelokkannya hingga dia terjatuh di rerumputan yang lembut dan sejuk. Meskipun akhirnya dia terjepit di sela bebatuan yang membuatnya diam. Dan mungkin mati. Tak Bergerak.

Aku melangkah keluar dari ruang kerjaku. Aku menatapnya. Kemudian kusingkirkan bebatuan yang menghimpitnya. Benar, dia telah mati. Sekali lagi, hukum alam tak bisa dibelokkan atau ditunda.

Begitu rapuhnya sehelai daun tadi setelah bertahun segar berseri. Setelah sepanjang hidupnya telah mengabdikan seluruh waktunya untuk cinta. Dia ingin terus memberi apa yang bisa berikan. Dia telah berikan seluruh sendi tubuhnya untuk memeluk pokok ranting.

Pelukan erat dari seluruh sendi tubuhnya. Curahan cinta dari seluruh pori-pori kulitnya yang setia menampung cahaya mentari, untuk kemudian berfotosintesis, menyediakan sari makanan bagi pokok pohon pangkal dia bergantung.

Sabar. Aku memunguti satu-satu veteran pejuang cinta yang terserak di tanah itu. Aku kumpulkan dalam genggaman tangan kiriku, sementara tangan kananku mengambil helai-helai yang lain.

Pelan, aku mengambilnya. Karena sesungguhnya aku sedang menghitung waktu. Waktu yang terasa berjalan begitu malas. Lambat. Ah, memang benar kata orang. Menunggu membuat langkah waktu terasa berat dan tak kunjung beranjak.

Aku menunggu kekasihku. Seseorang yang sangat aku kasihi. Sangat aku sayangi. Aku menunggunya. Dia berjanji menemuiku di batas akhir senja hari ini. Aku melihat di ufuk barat. Senja belum berwarna merah. Masih lama.

Aku terus saja menggenggam helaian daun kering tadi. Lalu kupandangi halaman tempat mereka berserak. Oh, ternyata lumayanlah apa yang aku lakukan. Sedikit membuat halaman depan ruang kerjaku lebih bersih dan rapi. Saat itulah aku sadari bahwa aku telah bersihkan halaman ini dengan tanganku sendiri. Halaman yang cukup luas, dan tanpa alat bantu apapun di tanganku. Pikiranku mulai berhitung saat senja makin merah. Ternyata sudah cukup banyak waktu yang aku habiskan di halaman ini.

Tapi kekasihku belum juga datang.

Aku melangkah pelan menyusuri jalan setapak berlantai kerikil. Suara berderak dari kerikil yang terinjak sepatuku membuatku perih. Senja tak lagi merah. Senja semakin kelam. Cintaku tak juga datang. Aku cemas.

Aku berniat mengambil korek api dari saku celanaku sebelah kiri. Kupikir, sebaiknya kubakar saja daun kering ini. Tapi sebagian hatiku berucap :

“ Jangan !. Jangan kau bakar daun kering itu !”

“ Kenapa ? “ aku balik bertanya.

Lalu sisi hatiku yang paling romantis menjelaskan :

“ Kau tahu, berapa lama waktu yang kau habiskan untuk memungutinya ? Kau tahu berapa helaian daun yang ada dalam genggaman tanganmu ? “

Aku menjawab lagi dengan bertanya :

“ Apa peduliku ? Dan apa pedulimu ? “

“ Manusia praktis !!! “ Dia menghardikku. “ Kau tahu apa yang membuatmu berharga saat ini hah ...? Kau memiliki kesetiaan akan janji ! “

“ Aku bukan sedang berusaha untuk mempertanggungjawabkan janji, aku melakukan ini karena cinta. “ Aku mencoba memberikan bantahan.

Tiba-tiba, matahari yang sedari tadi mulai redup cahayanya dan hampir tenggelam, beranjak sedikit ke atas sembari menahan lajunya ke balik bumi. Senja yang tadinya mulai kelam, sekarang sedikit semburat merah.

Diapun menghardikku.

“ Tahu apa kau tentang cinta dan kesetiaan ? “ katanya.

“ Aku tidak tahu pasti. Tapi aku merasakan. Dan aku meyakininya ! “ entah kenapa timbul keberanianku menentang matahari. Mungkin cinta ini membuatku berani mempertahankan rasa dari apa yang ada dalam hatiku. Ah, cinta.

“ Aku yang berhak atas kepemilikan kesetiaan !!! “ suaranya menggelegar, membuatku terjajar beberapa langkah ke belakang. Daun kering di genggamanku luruh. Jatuh.

Lalu kudengar sang mentari menyambung kata-katanya dengan nada marah.

“ Dengar anak muda ! Aku diciptakan untuk setia memberikan cahaya bagi segenap penjuru bumi sesuai takaran yang digariskan alam. Aku menyapa kalian saat pagi, meninggalkanmu saat senja. Tapi aku selalu berjanji untuk menemuimu kembali saat fajar menjelang. Tak kau sadarikah itu ? “

Pepohonan diam. Dan belum sempat aku berkata, matahari kembali berkata. Kali ini dengan nada sendu, lembut.

“ Aku menyaksikan seluruh alam setiap hari. Termasuk dirimu. Aku tahu dan merasakan apa yang kau rasa. “

“ Kau tak tahu sama sekali.” Aku berhasil menyelanya.

“ Aku tahu. “ katanya.

“ Aku menyaksikan indah ataupun hancurnya hatimu. Ingat, dirimu pernah ditikam cinta, pernah disiakan oleh harapanmu sendiri. Jangan bilang tidak ! Aku pernah melihatmu tersenyum berseri ketika cinta dan harapan menghampirimu. Lalu kemudian hatimu hancur karena harapan itu tercerabut dari hatimu. Membuatnya hancur berkeping-keping. Sementara cinta itu masih melekat kuat di hatimu. Benar bukan ? “

“ Benar, dan kuakui itu. “ Aku menjawabnya.

“ Nah, dengan cinta dan harapan yang saat ini kau miliki, yakinkah bahwa dia tak kan membuatmu menangis ? “ Dia bertanya kepadaku.

Aku balik bertanya penuh harap.

“ Hai sang mentari. Kau telah mengetahui semuanya. Aku ingin bertanya kepadamu. Akankah rasa sakit karena cinta itu akan menhampiriku lagi ? Apakah cinta dan kesetiaanku ini tak kan menemui jalan kesia-siaan ? Apakah kekasihku juga benar-benar mencintaiku ? Akankah cinta kami kan menemui kebahagiaan ? “

Kuhadapkan wajahnya ke arah sang mentari. Aku berani menatapnya, karena saat ini sinarnya meredup, karena matanya sayu menatapku. Dia menggeleng.

“ Aku tahu apa yang telah terjadi. Karena aku menyaksikannya sepanjang siang hari. Dan aku tahu apa yang terjadi saat malam ketika kudengar kabar dari sang rembulan. “

Lalu dia menghela napasnya. Masih dengan matanya yang iba. Kemudian dia berkata.

“ Kau terlalu banyak bertanya anak muda. Kau tahu ? Akupun tak pernah tahu dengan apa yang akan kuhadapi di depan. Apakah awan akan menutupi sinarku, apakah hujan akan membiaskan pelangi dari sinarku ? Aku tak tahu. Yang aku tahu, di garis inilah aku berjalan. Pasti. Tapi aku juga tak tahu kapankah langkahku akan terhenti. “

Dia menyambung lagi kata-katanya.

“ Yang akan terjadi esok, sesaat lagi bahkan sedetik lagi itu di luar kendali kita. Itu misteri. Dan misteri itu mutlak milik Allah. Dzat yang menciptakanmu, menciptakanku, memanggil ruh daun kering itu. Pemilik semesta ini. “

“ Ya... aku mengerti “ Kataku sambil tertunduk. Diam, diliputi cinta, rindu, harapan sekaligus ketakutan dan kecemasan.

Tiba-tiba sinar mentari kembali terang. Menyala. Ya, kulihat dia tersenyum dan berucap.

“ Kulihat ketulusan cintamu. Tanpa pamrih. Tanpa syarat. Mudah-mudahan Tuhan akan membuatmu tersenyum bahagia ketika kuasaNya akan mempertemukan cinta kalian. Menyatukan kasih sayang kalian. Jazad kalian yang saling merengkuh dalam restuNya. “

Aku mulai kembali berharap.

“ Ketulusan cintamu, kutahu tanpa pamrih. Kuyakin dirimu akan lebih tegar seandainya cintanya tak menjadi milikmu. Karena kutahu, kau sudah sangat bahagia ketika kau merasakan bahwa kau mencintainya. “ Lanjutnya.

“ Ah, anak muda. Siapa namamu ? Reza ? Kau membuatku lengah akan tugasku. Baiklah aku akan lanjutkan apa yang menjadi titahku. Aku tahu kau tengah menunggu batas akhir senja. Akan semakin lama jika aku terus di sini. “

Dia berpamitan. Dan menengadahkan tangannya seraya berdoa dalam kata :

“ Aku ingin esok hari, ketika kutemuimu lagi kau tengah tersenyum bersama kekasihmu. “

“ Amin “ Kataku.

Kelam. Kembali kelam. Aku duduk terpekur sendiri.

Senja ini aku telah belajar tentang kekuatan pengabdian cinta dari helaian daun kering yang jatuh dari pucuk cemara.

Senja ini aku telah belajar tentang kesetiaan dan harapan dari sang mentari.

Aku telah siap mencintai dan menyayangi. Aku telah berani berharap. Aku telah bersiap menunggu garisNya, apapun akhir dari cinta ini.

Tapi aku masih menunggu dengan cemas. Oh, ternyata aku belum siap menanggung rindu. Duh, di manakan dirimu kekasihku ?

Aku ambil kembali daun-daun yang jatuh dari genggamanku tadi. Akan kuhitung satu-satu sebagai bukti dari hitungan waktuku menunggu dirinya. Seperti kata sebagian hatiku tadi.

Baru beberapa helai kuhitung. Belum habis dan masih banyak yang tersisa. Ketika kulihat dalam keremangan senja kulihat sesosok tubuh indah berjalan, setengah berlari. Ya, aku mengenali tubuh itu. Aku memahami langkahnya. Bahkan aku mengenali bau tubuh yang terbawa angin senja itu. Aku bangkit, namun tubuhku bergetar. Dadaku berdebar hebat. Benarkah apa yang kulihat ?

Dia semakin dekat, namun aku tak kuasa berdiri. Aku beranjak semampuku. Aku merangkak. Tak peduli kerikil tajam melukai telapak tangan dan merobek lututku. Aku terus merangkak sambil berusaha berdiri. Darah membanjiri dadaku, ternyata tak kusadari dadaku tergores duri dari dahan mawar yang melengkung tertiup angin.

Semakin dekat dengannya, akhirnya aku mampu berdiri. Cinta dan harapan membuatku kuat menapak dengan pasti.

Kulihat dengan jelas. Ya,... itu kekasihku. Sosok yang jiwa raganya aku rindukan siang dan malam. Dia menemuiku. Kurasakan dia meraih tanganku, membersihkan luka di tanganku. Mengusap darah di dadaku.

Kita bertatapan. Walau aku malu dan tersipu, sempat kulihat sinar matanya. Aku merasa sangat mengenali tatapan itu. Aku yakin. Aku yakin mengenalinya. Tatapan yang membuatku damai. Dia benar-benar kekasihku.

Kuberanikan diri untuk menatap matanya, membelai rambutnya. Perlahan kupeluk dia. Kami berpeluk erat. Kening kami beradu, saling diam. Tapi hati kami saling berkata : “ I love you “

Perlahan kucium lembut bibirnya. Dalam.

Ajaib ! Seperti dalam film-film romantis, hujan tiba-tiba turun membasahi bumi yang sempat terpanggang seharian.

Kuusap wajahnya. Kulihat dia menangis. Akupun begitu.

Dalam kehangatan ciuman, kutanyakan padanya :

“ Will you marry me honey ? “

“ I do.............”

Hujan semakin deras. Kuyakin mentari akan ikut tersenyum bahagia esok hari. Ketika kekasihku terbangun dalam dekapanku.

**********

Pekalongan, 3 Septy 2009

Reza Ahmad Zamroni