05 May 2011

Bait 2 - Pisau Lipat


Matahari merah tembaga, seperti bara ujung rokok yang sedang dihisap. Semburatkan cahaya jingga berselaput mega serupa asap yang mengepul. Sebentar lagi, matahari tinggal separuh. Biasanya cahayanya akan digantikan pijar lampu-lampu jalan, yang menyala dengan sendirinya, tanpa ada yang menyalakan saklarnya.

Pikiranku melayang ke masa SMP. Guru elektronikaku pada saat itu menjelaskan bahwa lampu itu dilengkapi sensor elektronik yang akan mendeteksi cahaya. Saat sensor itu menangkap kegelapan, secara mekanis sensor akan memicu konduktor yang akan mengalirkan arus listrik. Maka lampu akan menyala.

Bersama teman-temanku saat itu, kami mempelajari dan mempraktekkannya, dengan sirkuit yang kami buat sendiri melalui skema yang diberikan guru elektroniku itu. Ah, aku tersenyum kecut. Itu sudah berlangsung lama sekali, saat aku baru menginjak remaja, saat pikiranku –dan teman-temanku juga –masih dipenuhi pengharapan yang besar akan kehidupan yang menggairahkan, akan janji-janji dan pujian yang ditebar negeri ini.

Aku menekuri diriku sekarang. Pisau lipat masih dalam genggamanku, basah karena keringat yang membanjiri telapak tanganku. Gelisah menunggu sesuatu. Antara gelisah dan geram. Pandangan mataku serupa cahaya merah, seperti darah yang mengalir cepat di balik kulitku. Deras, lantaran jantung memompanya dengan cepat.

"Cinta satu malam, oh indahnya"

Suara nyanyian yang keluar dari radio butut dari dalam warung kopi dimana di atas bangku terasnya pantatku mendudukinya. Aku masih mengamati bangunan di seberang jalan. Dengan pisau lipat dalam genggaman, dengan pandangan yang berwarna merah.

"Cinta satu malam, buatku melayang"

Kebahagiaan hidupku hinggap seperti kerjapan mata, seperti cinta satu malam di antara kemuraman sepanjang tahun. Tetapi aku bersyukur. Jangan kau kira tidak!

Seorang penjual tape keliling berwajah kocak bersiul-siul pulang memikul keranjang bambu yang bobotnya sudah menjadi lebih ringan, karena hampir habis terjual. Dan tanganku masih menggenggam pisau lipat yang berkilat-kilat ketika kuperiksa ketajamannya.

Tadi pagi, saat berangkat dari rumah, kukira sore ini aku akan duduk di atas sepeda motorku yang melaju santai dengan siulan yang riang, dengan tatapan mata penuh warna. Mungkin mirip dengan bapak penjual tape tadi.

Aku masih mengkhayalkan itu ketika sebuah mobil keluar dari gedung di seberang jalan. Gedung angkuh yang sedari tadi aku amati sejak masih ramai, sampai sepi berselimut gelap, sekarang ini. Dengan memperpanjang isapan terakhir, rokok aku banting kemudian aku injak. Dadaku bergemuruh lantaran berdebar-debar.

*****
Debaran jantung, bagiku sudah tak memiliki rasa, hambar. Hanya seperti gatal kecil di ujung hidung yang akan beres dengan sekali garuk. Telah lama aku akrab dengan debaran jantung.

Dia kerap mengunjungiku, dan intensitas kedatangannya akan semakin sering menjelang ketika akhir bulan tinggal beberapa hari. Hanya, aku trauma dengan suara motor yang berhenti di depan rumah. Seperti buronan yang bersembunyi dalam toilet pasar, sementara massa memburu dengan pentungan, preman berhamburan dengan celurit dan badik, serta aparat melacak dengan menenteng pistol.

Padahal massa hanya mengejar seekor kucing garong yang menggondol ikan pindang dari bakul Mbok Yem. Padahal preman hanya sedang melarikan diri karena dikejar aparat karena baru saja terlibat tawuran memperebutkan daerah kekuasaan. Dan padahal... padahal motor yang berhenti di depan rumah hanya akan menanyakan alamat.

Tapi aku, tetap saja berdebar. Sudah seringkali pengendara motor yang berhenti di depan rumah menggedor-gedor pintu dengan nada :

"Hei.... buka pintu! Aku tahu kamu ada di dalam! "

Lalu aku menciut dalam intimidasi cecunguk demi cecunguk yang berangasan, atas nama tugas dan pekerjaan. Atas nama target.

Lalu, saat di jalan, aku trauma dan gentar dengan pengendara-pengendara motor berbadan tinggi besar, berjaket kulit, bersepatu kulit mengkilap dan menyandang tas kerja warna hitam, beberapa di antaranya telah berwarna semu merah saking bututnya.

Lalu, di warteg aku kembali bergidik duduk di atas bangku yang dikerumuni mereka. Dengan menu yang sama denganku, mereka mengunyah nasi campur murah meriah. Hanya, rokok yang mereka isap berbeda. Mereka hanya membakar lintingan tembakau mahal, dengan merek bergengsi.

Aih,... ternyata mereka sebetulnya sama berhematnya denganku. Itu berarti sama miskinnya denganku. Maka jelas, kapitalisme telah menghadapkan golongan yang sama-sama miskin untuk berkonfrontasi. Satu pihak mengintimidasi, sementara pihak lainnya terintimidasi. Sedemikian rupa, sehingga yang terintimidasi tersuruk-suruk, pontang panting tanpa tempo sedikitpun, demi memberikan poin dari target yang dibebankan oleh cecunguk di atasnya.

Mereka ini yang direkrut untuk mengatakan :

“Tidak bisa..!”

“Harus sekarang, ya harus sekarang, besok sudah susah untuk menembus sistem”

Mereka itu haruslah bergelar sarjana, agar fasih mengucapkan istilah-istilah rumit. Bukankah yang harus diintimidasi juga masyarakat kelas kambing yang mudah dibohongi lantaran congek dan tak pernah kenal kata kelas atas? Kalaupun mereka menemukan kaum intelek, mereka harus bisa main gertak dengan istilah-istilah yang makin kisruh lagi.

Namun herannya, jika sudah tersuruk ke sudut, dimana mereka tidak bisa lagi berlari atau berkelit, mereka mengandalkan ilmu dari jaman purba. Inilah yang akhirnya mereka pilih, tinju mereka bisa melayang ke mana saja. Bukankah ini cara purba yang hanya dilestarikan oleh binatang? Anjing!

Sementara mereka yang berhati baik, jujur, memiliki nurani? Tertatih tatih menapaki lantai kantornya, kemudian tejengkang ke luar terlibas kegagalan memenuhi target.

*****

Mobil itu masih menunggu celah untuk memasuki jalan, ketika aku bergegas menghampirinya, dan menggedor jendela pengemudi. Ini orang yang aku tunggu dari siang hingga sore. Tanganku masih menggengam pisau lipat. Kemudian kutarik dompet dari saku celana belakangku. Kuambil rokok terakhir yang telah gepeng dalam lipatan dompet.

Pagi tadi, aku berangkat dengan serantang nasi dengan lauk telur dadar yang dimasak istriku untuk bekal makan siang. Ditambah tiga batang rokok. Satu untuk teman minum teh awal bekerja, satu jatah sehabis makan siang dan satu lagi rokok terakhir sore hari.

Rokok pertama telah aku hisap sewaktu menunggu antrian. Rokok kedua bukan menjadi penutup makan siang, karena rantang nasiku entah ke mana. Kunyalakan rokok terakhir.

“Santai saja bos! Masih ingat saya?” Orang itu melotot geram. Pasti dia masih ingat aku.

“Hei...! Masih ingat saya?” Ulangku sambil menghunus pisau lipat sambil tetap tenang menghisap rokok, seperti layaknya pembunuh yang telah berkali-kali meregangkan nyawa banyak orang. Orang itu menciut gemetar.

Siang tadi aku datang ke kantor ini ini untuk membayarkan angsuran sepeda motorku. Ada tunggakan satu kali, dan bulan ini belum jatuh tempo. Kasir menolakku ketika aku akan membayarkan satu kali angsuran. Seperti pesakitan, aku diminta menghadap orang yang sekarang dalam todongan pisauku. Tanpa kesempatan sedikitpun bagiku untuk membela diri, aku diminta menandatangani selembar kertas yang aku tak tahu apa isinya, karena aku tak boleh membacanya.

“Saya pinjam STNK dan kunci motor anda.” Kata orang itu siang tadi.

“Harus kami cek dulu kondisinya.”

Aku yang merasa tidak pernah merubah sedikitpun spesifikasi motorku, menyerahkannya tanpa kecurigaan apapun.

“Sesuai aturan dan perjanjian, motor anda titipkan dulu kepada kami, dan bisa diambil kalau anda membayar satu angsuran lagi.”
Aku kaget.

“Setengah jam lagi saya kembali, saya bayar dan motor saya ambil kembali, sesuai dengan yang bapak katakan tadi.”

*****

Bangsat! Orang tadi tak bisa aku temui. Padahal aku sudah membawa uang sesuai yang dia minta. Teman-teman sekantornya tak bisa memberikan keterangan di mana dia berada. Sementara merekapun tidak mau menanggapi urusanku.

“Saya sedang di luar kota, silahkan anda ambil motor anda kalau anda sudah melunasi secara keseluruhan sampai lunas.” Si bajingan itu berkata setelah aku berhasil meminta nomor ponselnya dari seorang karyawan yang tampaknya bersimpati kepadaku. Sampai lunas? Bukankah yang dia minta tadi satu kali angsuran lagi?

*****

“Tampaknya luar kota itu masih di dalam kantor kamu ya?” Kataku sambil menghembuskan asap rokok ke mukanya.

“Aku datang tadi pagi dengan iktikad baik untuk memenuhi kewajibanku, tapi kamu memang tengik. Apa yang kamu makan tadi pagi? Bangkai bayi? Atau mungkin kamu makan juga bekal makan siangku? Dasar cecunguk! Kalau anak buahmu yang mencegatku di tengah jalan, kemudian merampas motorku karena aku mangkir dan susah ditemui, itu baru hak kamu.”

Kukira, orang ini lebih busuk daripada pesuruh-pesuruhnya yang berkeliaran di jalanan dan hinggap dari rumah ke rumah seperti pengemis. Karena dia orang yang menyuruh lelaki-lelaki tinggi besar berjaket kulit merebut motor-motor orang kecil tanpa peduli kesusahan yang dialami pemiliknya.

“Anda sudah menandatangani perjanjian dulu, lalu siang tadi, maka itu yang kami lakukan...” Lalu mulut bejatnya bicara panjang lebar berbui-buih hingga lidahnya menjulur-julur meneteskan liur yang baunya serupa kubangan babi. Najis.

“Kamu tidak sedikitpun menghargai iktikad, apalagi kesusahan orang. Apa kamu peduli itu? Yang kamu pentingkan hanyalah kedudukanmu, perutmu sendiri yang kuyakin dipenuhi belatung. Oh oh oh, kuyakin itu tak menjadi masalah buatmu. Biar perut kamu busuk dan mulut kamu bau comberan, yang penting bos kamu menganggap kamu berprestasi. Atau jangan-jangan itu masuk kantong kamu sendiri?”

Kudekatkan pisau lipatku ke lehernya. Pasti dulunya dia pernah di jalanan juga, seperti cecunguk-cecunguk di bawahnya. Karenanya dia mencoba melawan, hingga pisau menggores sedikit lehernya.

Aku yakin, aku harus membunuhnya. Tapi bagaimana dengan anak istrinya? Aku juga yakin mereka akan bertangisan di samping jasad yang telah kurobek jantungnya. Aku ragu. Tapi pasti ini akan menyelamatkan keluarganya dari makan makanan kotor, yang dibeli suami dan ayahnya dengan uang haram, dengan keringat dan air mata orang-orang sepertiku. Atau air mata darah seorang kakek yang bersamaku tadi siang juga mengalami nasib serupa, saat dia meminta surat pengantar untuk perpanjangan STNK motornya, sementara sang kakek memiliki tunggakan satu kali. Biadab!

“Atas nama diriku, dan kakek-kakek yang tadi siang kau zalimi, aku harus menghabisimu.” Nada bicaraku agak bergetar, pandangan mataku menjadi semakin merah. Pekat. Aku belum pernah membunuh. Bagaimana bisa aku membunuh, sedangkan dengan kekerasan sedikit saja aku takut bukan kepalang.

Tapi aku percaya bisa menikam jantung bajingan ini, meskipun aku tak percaya aku bisa berbuat kasar. Tapi persetan dengan keyakinan itu, karena dulu aku juga tak percaya apakah orang bisa sedemikian licik seperti anjing ini. Seperti halnya aku percaya bahwa orang harus selalu optimis, segala hambatan pasti akan ada jalan keluarnya. Tapi nyatanya, aku kerap dibohongi oleh optimisme, oleh keyakinanku sendiri. Konyol!

Segala cobaan pasti ada hikmahnya. Hahaha, itu hanya penghiburan. Nyatanya, aku sering terjerembab, tersungkur karena cobaan, sementara hingga kini aku masih mengais-ngais hingga jari-jariku berdarah, di manakah hikmah yang kalian maksudkan, hah?!

Ya, aku yakin akan menghabisinya, tidak ada alasan lain, orang seperti ini harus dilenyapkan. Tanganku yang menggenggam pisau tajam itu langsung menusuk, dan merobek. Tapi bukan di jantungnya atau bagian tubuhnya, melainkan jok mobil yang dikemudikannya. Aku tak bisa membunuh. Tapi aku ingin.

Melihat aku merobek jok mobilnya denga pisau lipatku, orang itu mengira tikamanku meleset dari yang seharusnya ke dadanya. Maka dia berusaha menginjak gas mobilnya, berusaha melarikan diri. Aku kalap dan mengejarnya, lalu berdiri tepat di depan moncong mobilnya dan kemudian menikamkan pisauku lagi di atas kap mobilnya. Entah emosi atau kalut, bajingan itu menginjak kembali gas mobilnya.

“Krek...” Ada sebuah bunyi dari pinggangku, lalu aku terkapar di tepi jalan di depan moncong mobil. Pinggulku retak dihajar bumper Kijang, ya mobil cecunguk itu.

Seketika orang berlarian ke arah kami. Orang-orang itu lalu menarik bajingan itu ke luar dari mobil. Pukulan, tendangan, pentungan dan entah apa lagi menghujani orang itu.

“Hajar terus keparat ini!” Teriak seseorang.

“Bantai! Mentang-mentang kaya, naik mobil seenak pusernya sendiri!”

“Hajar biar tau rasa!”

“Rasain nih...!”

Tidak ada yang memperhatikanku yang terkapar nyaris pingsan. Mereka terlalu sibuk menghajar keparat itu, juga mobilnya. Hingga antara sadar dan tidak karena rasa sakit yang luar biasa di pinggangku, yang membuatku mati rasa dan beku dari pingang ke bawah, sebuah bayangan menghampiriku, secepat kilat.

Sosok tubuh itu tinggi besar, berpakaian serba putih dengan kulit yang bercahaya, menyilaukan. Sosok ini memeluk pinggangku dengan sebelah tangannya, seperti menenteng selembar handuk, ringan sekali. Kemudian melesat secepat kedipan mata. Membumbung ke atas melewati pucuk-pucuk pohon mahoni peneduh jalan.

Kulihat keparat yang tadi dihajar masa sudah layu, menggelesot seperti cucian basah dengan bertumpu pada kedua lutut, kepalanya terkulai pada ban depan yang berada pada posisi membelok, sementara tangannya terkulai ke tanah. Mobilnya ringsek, seringsek wajah dan tubuhnya. Sementara massa yang tadi menghajar mulai saling bertanya.

“Di mana korbannya?”

“Iya, di mana korban yang tadi ditabrak? Tadi dia ada di kolong sini.”

Demi mendengar sirine mobil polisi, mereka menghilang. Sepi. Hujan mulai turun, membuat tanah memerah karena darah. Darah yang harus tumpah karena amarah. Amarah yang harus menggelegak karena serakah.

Aneh, bersama sosok yang menggendongku, aku tak merasakan rintik hujan. Aku dibawanya melesat, sejajar dengan lampu-lampu jalan yang padam satu per satu seiring dengan kelebat sosok yang membawaku. Setengah sadar aku sempat berpikir. Mungkin karena benderang putih sosok ini, sensor lampu mengartikannya sebagai sebuah cahaya yang dikiranya siang, hingga lampu mati. Atau mungkin sosok ini memiliki gelombang frekuensi yang mengacaukan sistem otomatis lampu. Ah, mungkin juga lampunya memang sudah harus diganti.

Sosok ini membawaku semakin jauh, ke padang luas yang kesemuanya berwarna hijau. Seperti siang hari, tapi kesejukannya seperti pagi hari, sedangkan keheningannya seperti malam hari. Aku ternganga terkulai dalam pelukan sosok yang tanpa henti berkelebat semakin jauh.

“Apakah aku sudah mati?” Aku bertanya kepada sosok yang menentengku.

“Di manakah aku? Apakah aku sudah tak berjasad lagi?” Aku berusaha melirik ke tubuhku. Karena aku tak merasakan lagi rasa sakit di pinggulku yang tadi remuk.

“Kalau aku sudah mati, lalu kemanakah kau akan membawaku? Surga, atau neraka?”
Namun sosok itu masih tetap saja diam. Yang dilakukannya hanyalah terbang, dan terbang sambil terus memelukku erat.

*****

Bukan aku yang membunuh manusia zalim keparat tadi sore. Tapi secara tidak langsung aku harus bertanggung jawab. Apa dayaku, kukira akupun sudah mati. Mati dalam pertaruhan membela martabat dan harga diri. Apakah aku berhak menyandang mati syahid karenanya?

Optimismeku yang kupelihara di dunia ikut ke sini. Tapi betulkah optimismeku di akhirat tak akan dibohongi, seperti halnya optimismeku di dunia yang selalu mangkir memberikan solusi?
Kecuali tadi sore dimana jiwaku berhasil memberontak, di dunia aku terlalu sering pasrah. Sekarangpun aku hanya bisa pasrah. Itu jalan yang biasa kuambil ketika segala kewajiban sudah kutunaikan tetapi apa yang menjadi hakku tak kunjung kuterima.

Sosok putih bercahaya masih saja berkelebat. Tangannya erat memelukku pinggangku. Mungkin dia hanyalah pendekar sakti yang mencoba menyelamatkanku dari kesakitan dan keletihan hidup?

Tapi ya, aku lelah. Letih.

Lamat-lamat kudengar sebait tembang macapat yang sering disenandungkan nenekku saat aku kecil ketika malam menjelang tidur sambil mengusap-usap kepalaku. Pucung.

"Angkara gung, neng angga anggung gumulung
Gegolong nira, triloka lekere kongsi
Yen den umbar ambabar dadi rubeda"


(Sifat angkara murka itu berada di dalam pribadi, Sesuai dengan tingkatan Anda, Ia meliputi tiga dunia, Bilamana dibiarkan, akan mendatangkan malapetaka)
Letih, semakin letih, membuatku mengantuk , seperti bayi dalam buaian sambil menghisap puting ibunya.

Aku lelah, aku ingin tidur. Pasrah, kapanpun dan dimanapun aku akan bangun.

Awal April 2011