21 September 2011

NADA MIMPI

Bagiku kau adalah nada. Nada yang oktafnya terlalu tinggi hingga aku tak dapat menjangkaunya. Tak dapat kuraih meski sekencang apapun aku berteriak. Baiklah, aku tetap akan menyenandungkan nada milikmu , dengan nada yang sama meskipun dalam oktaf yang berbeda. Meskipun dengan begitu aku tetap tak bisa memilikimu, utuh.

Lalu senandungku merayap meniti hembusan angin ke dalam imaji yang melukiskan warnamu dalam benakku. Ada wajahmu yang kukira kukenal dengan sangat dekat. Ada rambutmu yang menggelayut membelai buah dadamu. Ada puting susumu, yang telah menyusui tiga anak, namun bagiku tetap serupa dengan puting susu perawan. Ada pipimu yang terjatuh, tetapi menurutku masih seranum apel seperti layaknya belia. Ada tubuhmu yang mengundangku untuk memberikan pelukan dan dekapan juga gumulan.

“Kau terlalu mahal!” kataku saat itu. Saat angin membawa suara kita.

“Kau pikir kau harus membeliku?”

“Tidak, aku harus membeli jarak. Dan kukira aku tak mampu membayarnya.”

“Hah....” kudengar desahan nafasmu itu. “Lalu kenapa kita tak seranjang saja selamanya?”

Mimpi! Senandungkan nadamu adalah mimpi. Warnamu mimpi. Wajahmu mimpi. Rambutmu mimpi. Payudaramu mimpi. Puting susumu mimpi. Pipimu mimpi. Tubuhmu mimpi. Pelukan, dekapan dan gumulan itupun mimpi. Semua tentangmu itu mimpi.

“Dan kita seranjang bersama adalah mimpi di dalam mimpi.” Kataku pada akhirnya.

“Berarti itu tak mungkin?”

“Entahlah...apakah mungkin ada cinta kedua jika hanya boleh ada satu kebersamaan.”

Kau pernah berkata, akulah kebahagiaanmu sedangkan dia adalah kenyataan. Jika begitu, apakah bahagia itu tak bisa ada dalam kenyataan? Apakah kenyataan itu tak bisa memberikan bahagia? Akupun tak juga bisa menemukan jawabnya.

Yang kutahu, kita harus mensyukuri kenyataan. Tapi kenyataan yang mana? Apakah gejolak hatimu padaku dan gairahku tentangmu bukan kenyataan jika kita berdua merasakanya dengan segenap panca indera?

Ah...tanya, tanya dan tanya! Hanya itu yang selalu ada.

"Baiklah, kita uji saja apakah ini realita atau hanya sekedar lagu impian” kataku kemudian.

“Bagaimana caranya?”

“Apakah semua rasa itu akan tetap terjaga meski kita tak bertegur sapa untuk waktu yang panjang, atau akan terkikis helai demi helai hingga akhirnya habis.” Seperti halnya tetumbuhan yang tak pernah disiram, mungkin dia akan mati. Atau akankah seperti seorang anak yang tak pernah dijenguk orang tuanya, dia masih akan mencari dan tetap mengakui orang-orang yang mengukir jiwa raganya.

"Itu berarti jika kita terjebak menjadi tetumbuhan yang mati kita telah memilih jawaban bahwa kita hanya bermimpi?”

“Ya,... dan bagiku itu bukan jebakan, tetapi pilihan. Membuatnya tetap bersemi, tetap mencari atau memilih untuk berpaling sia-sia.”

“Hemmm... lalu apa lagi?”

“Ketika kita memberi atau berbuat sesuatu untuk salah satu di antara kita, adakah kita merasa telah berkorban atau tidak.”

“Maksudmu?”

“Cinta telah tutup usia jika kita merasa telah berkorban untuk seseorang yang kita cintai. Karena orang akan melakukan apapun untuk cinta, tanpa pamrih dan tanpa merasa perih.”

Malam-malamku sendiri. Sunyi rebah berserakan di beranda, di kamar tidur, di mana-mana seolah menguntitku kemanapun aku beranjak. Ada hampa terhampar di sekelilingku ketika senja mulai menurunkan tirainya. Dan aku berharap kau tak mengalami hal yang sama. Karena aku tak merasa berkorban jikapun kau bermanja dengan semua yang ada dalam rumahmu. Karenanya, aku tak merasa sendiri.

Jangan berharap apapun dengan mimpi kita. Saat ini, mimpi ataupun kenyataan bagi kita tak ada bedanya. Sama saja.

Kita bisa memilih kenyataan, tapi kita tak bisa memesan mimpi, seperti kita tak juga bisa menghindarinya. Maka biar saja mimpi itu terbit, mengembara dalam kamar-kamar jiwa. Dan kita tak bisa membelokkan ke mana arahnya. Kita tak bisa memiliki kendali atasnya.

Mungkin kenyataan antara kita tak masuk logika. Tentu saja, maka tak usah dipikirkan karena inilah mimpi, tapi bukan juga imajinasi.

Teruslah tidur kalau kau mau, biarkan mimpi itu menyunggingkan bibirmu mengulas senyum. Biarkan jiwamu yang menyanyikan nada-nada mimpi. Karena otak saat ini tengah rehat.

Esok hari mentari tetap akan bersinar sekalipun mendung membatasi.