28 April 2011

Bait 1 - Pinjami Aku Jiwanya

Bukan dingin, hanya sejuk. Adem, ketika hujan sore hari membasuh bumi yang bersukacita menyambut tetes-tetesnya, ketika sekawanan anak kecil berlarian. Riang ke tanah lapang.

Mereka bercanda, berkejaran, saling tertawa lepas, seperti bunga mataharai siap mekar yang berayun disaput titik-titik hujan. Semuanya di depan mataku.
Harus kuakui, aku iri kepada mereka yang kini sedang berloncatan di atas rerumputan basah serupa karpet lembut mengalasi kaki-kaki kecilnya.

Ah,... andai saja dapat kupinjam jiwa mereka, sebentar..... saja. Sedetikpun tak mengapa, asal dapat kurasa hatiku kembali remaja, belia.

Tolong pinjami aku jiwamu, hingga kurasa ruh yang menopang ragaku cukup perkasa kembali menegakkan bahu dan punggungku. Bolehkah kupinjam sejenak jiwanya, sesaat saja? Sedetikpun sangat membantu bibirku tersenyum.
Agar kutahu bagaimana rasanya dicemaskan ketika tak nampak bayanganku memasuki pintu pagar saat senja beranjak. Agar kuingat kembali bagaimana aroma citarasa harapan, ketika sekarang ini aku merasa waktu dan kesempatan telah melarangku memiliki cita-cita.

Bolehkah kupinjam kaki mereka, agar aku dapat melangkah mengambil satu mata angin atau berbelok ke mana saja aku mau. Bolehkah kupinjam tangannya, agar dapat kutorehkan warna apapun yang kusuka. Bolehkah kupinjam bening bola mata mereka agar dapat kulihat dan kupilih bintang manakah yang akan kuraih?

"Pulanglah dik... ayah ibumu menunggu kalian. Pasti mereka cemas akan diri kalian."

"Sebentar saja lagi kak, kami masih ingin bermain."

Lalu hujan semakin deras. Gelegar petir akhirnya membuat mereka untuk melangkahkan kaki. Pulang. Sebagian dari mereka mungkin akan kena marah orang tuanya. Andai saja itu terjadi padaku, pasti kurasa itu akan jauh lebih baik, karena kutahu itu adalah cinta. Setelah itu, pastilah meraka akan didekap dalam pelukan dan selimut tebal yang hangat.

Dan cinta terbiasa bicara dalam banyak bahasa. sering terdengar lembut, merdu berirama, terkadang membuai. Tak jarang cinta juga berbicara dalam nada dan bahasa yang tak bisa dipahami, seperti hasrat atau bahkan kemarahan, serupa kemarahan orang tua terhadap anaknya lantaran terlalu banyak bermain hujan-hujanan.

"Kami mencintaimu, kami tak ingin kehilanganmu. Maka jangan bermain hujan-hujanan. Kami khawatir kamu jatuh sakit." Ketika aku dewasa, baru kutahu bahwa itulah tafsir kemarahan orang tua. Karena cinta? Aku percaya, iya.

Maka karena cinta jugalah aku tak ingin orang tuaku tahu meski aku terluka, terjerat atau bahkan sekarat. yang kutahu, hanya itu balasan atas cinta mereka, yang bisa kuberikan selain beberapa kebanggaan yang pernah kumahkotakan, dulu.....sekali.

Aku tak dapat meminjam jiwa anak-anak tadi. Sama seperti aku tak dapat mengubah aliran air dari laut naik ke pegunungan, dar hilir menuju hulu. Sama seperti mustahilnya kutanam pohon terbalik, dahan dan rantingnya menghunjam tanah dan akarnya menjulang ke langit. Sama tidak mungkinnya dengan keinginanku untuk memutar kembali sang waktu dan kutambal semua lubang karena kesalahan.

Kini aku di sini. Tak adakah lagi harapan? Kakiku perih, tersayat jalanan, hingga guyuran hujan membenamkan mata kakiku dalam genangan yang memerah karena darah. Tapi aku masih harus dipaksa melangkah. Tanganku melepuh, dipaksa bekerja siang malam, tak ada waktu untuk membalutnya dan beristirahat. Bahuku bengkak, punggungku bengkok, terbebani hidup... dan juga dosa.... yang menghitamkan mukaku.

Ah.... dadaku sesak. Kurentangkan kedua tanganku, sementara kepalaku menengadah. Mataku terpejam, tak mau lagi kubuka. Aku tak mau melihat parade mimpi. Karena jangankan mimpi, harapanpun seringkali menghianatiku, membohongiku mentah-mentah.

"Semua omong kosong...!! Bulshit...!!!"

Lalu aku berteriak sekuat nafasku, menantang semuanya.

"Kenapa? Meski telah banyak dosa yang kuperbuat, sedemikian bencikah kalian kepadaku? Sampai-sampai kalian selalu bersekongkol untuk menjegal setiap langkahku mengejar mimpi? Apalagi yang akan kalian perbuat hah.....?! Membuatku mati? Merenggut jantungku? Menghajar pikiranku hingga aku tak dapat lagi berpikir dan berharap?"

Mereka, hujan itu, angin itu, petir itu berbicara sendiri-sendiri dengan bahasa yang tak dapat kumengerti. Atau mungkin saja merekalah yang tak mengenal apa yang aku ucapkan.

"Hahahahaha....." Aku tertawa keras, seperti orang yang sudah tidak waras. Aku tak dapat lagi menangis karena rasa sakit. Aku hanya bisa menangis ketika melihat kebaikan dan ketulusan.

Itu lebih baik bagiku. Tetapi mungkin lebih baik lagi kuterus tertawa tanpa alasan. Agar gerombolan orang yang mengejarku dengan pena, dengan secarik kertas, dengan tinju dengan parang, celurit dan pistol berbalik arah.

"Sia-sia saja mengejar-ngejar tanggung jawab kepada orang yang sudah gila..." Tak mengapa seandainya akhirnya mereka ucapkan kata-kata itu padaku, ditambah beberapa tembakan ludah, cukuplah.

Atau sebaiknya kulawan saja mereka dengan tanganku? Agar tinju mereka melayang di wajahku, parang menebas pinggangku, celurit menjerat leherku atau pistol menyalak, melesatkan peluru yang menembus jantungku. Lalu aku mati,.....dan....selesai.

Aku letih. Hujan masih belum berhenti. Di sebuah rumah sederhana, seseorang menyalakan api unggun di tengah ruangan yang kosong, tak lagi berisi perabotan apapun.

Secangkir kopi telah diseduh dan disiapkan. Mungkin untukku.
Sehelai sarung, baju koko dan kopiah telah dijejerkan. Mungkin untukku.
Sehelai handuk kering telah disampirkan di pegangan pintu. Mungkin untukku.
Beberapa lembar kain tengah diguntingnya. Mungkin untuk membalut lukaku, seperti biasa.
Selembar tikar telah digelar di sisi api unggun yang hangat. Mungkin untukku, dan dia.
Sekerat hati telah dibuka dan dihangatkan dalam jiwanya. Pasti itu untuk mimpi-mimpi dan harapan serta rencana yang sering kutiupkan hingga mulutku berbuih.

Bodoh sekali...! Hanya dia yang masih percaya tentang cetak biru masa depan yang akan kubangun. Namun, harus kuakui, aku masih memiliki cinta yang membekaliku setiap fajar, dan menungguku setiap senja.

Aku letih, sementara aku masih menjadi buronan.

"Entah sampai kapan..."

2 comments:

  1. wow.....semoga apa yang menjadi harapan dan cita cita anda tercapai sahabat...selamat malam

    ReplyDelete
  2. lama tak jumpa ,..masihkah km mengenali diriku?

    ReplyDelete