02 April 2011

CATATAN DIALOG BUDAYA BERSAMA EMHA AINUNNAJIB

Dalam Rangka Ulang Tahun Kota Pekalongan Ke 105

31 Maret 2011 Jam 1 siang, saat itu GOR Jatayu Kota Pekalongan diramaikan dengan Pameran Buku dengan tajuk “Pekalongan Sejuta Buku” yang berlangsung mulai 30 Maret hingga 5 April 2011.

Jika saya melangkah ke sana untuk hunting buku, itu pasti. Namu siang itu saya datang secara khusus untuk mengikuti Dialog Budaya dalam rangka Ulang Tahun Kota Pekalongan ke 105.

“KATA DENGAN KATA-KATA BERBAGI RASA MEMBANGUN MAKNA”, adalah tema yang melingkupi dialog budaya ini. Maka nuansa yang tercipta menjadi dialog yang cair, santai namu harus diakui sarat dengan makna.

Emha Ainunnajib (Cak Nun) yang menjadi pembicara dalam acara ini hadir bersama Walikota Pekalongan, dr. HM Basyir Ahmad dan juga EH Kartanegara (sastrawan Pekalongan). Cak Nun adalah Cak Nun, dia hadir dengan balutan pakaian yang sederhana, dengan kaki yang beralas sendal kulit. Dengan bungkusan tersebut, Cak Nun terasa bebas berbicara ke mana saja tanpa beban dari atribut apapun.

Maka Bung Karta tak mau kalah, hadir dengan kemeja putih yang kancingnya disematkan hingga leher, bersarung dan berpeci, mirip dengan sosok-sosok yang aku lihat dalam foto-foto jadul.


Seperti biasa, Cak Nun berbicara blak-blakan tanpa pretensi apapun. Namun ini yang membuat suasana menjadi segar. Sesuai denga tema, cak Nun memaparkan contoh-contoh kata yang sama namun berbeda makna, juga banyak kata yang memiliki arti yang sama. Semua bergantung kepada konteks kalimat dan subjek dimana kata itu melekat. Namun demikian, dengan kelakar khasnya, sebuah kata juga bisa terpeleset tetapi bermakna serupa. Seperti kata “kafir”, jika diambil huruf konsonannya saja menjadi “k-f-r” yang diplesetkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ”c-v-r” ditambah huruf vokal sana sini, akan menjadi “cover”. Kafir, yang dalam bahasa Arab bisa bermakna menutupi (kebenaran) bisa bermakna sama dengan “cover’ yang dalam bahasa Inggris juga berarti tutup.


Masih banyak olah kata cerdas yang terkuak di situ. Lalu berbicara tentang makna, Cak Nun dan semuanya sepakat bahwa Allah, dengan nama dan dzat-Nya adalah hal yang mutlak menjadi nomor satu. Allah ada di mana saja, dan di sinilah kita bisa memanggil Allah dengan “Engkau”, “Dia” atau bahkan “Aku”.
  • Ada di depan kita, manakala kitasedang shalat atau berdoa. Maka tak ada orang yang memalingkan muka saat melakukan shalat atau berdoa. Karena Allah ada di hadapan kita. Karenanya kita menyebul Allah dengan Engkau.
  • Allah melihat kita, meskipun kita tak melihatnya. Saat itu, bisa jadi kita sedang beraktifitas, bekerja. Maka, Dia mengawasi kita.
  • Saat sedih, Allah menjadi Aku. Untuk hal ini, tentu saja Cak Nun tak perlu berpanjang lebar menguraikannya dalam dialog seperti ini.
Cak Nun adalah Cak Nun, dia memiliki kata-kata yang bisa menuju ke mana saja, namun ada perenungan di baliknya. Untuk hal ini, dia berbicara tentang betapa penyakit bangsa ini sudah sedemikian parah. Tak ada seseorangpun yang mampu memberikan obatnya.

Jika dalam penyakit medis, sebuah kasus tak bisa disembuhkan dengan cara apapun, maka Allahlah yang akan menyembuhkannya. Dalam konteks negeri ini, kiranya penyakit yang menggerogoti pertiwi ini sudah menjadi penanganan Allah. Allah yang akan memulihkannya, dengan syarat masing-masing individu melakukan self healing, berbuat baik pada diri dan keluarganya.


Demikian parahnya penyakit yang bernama korupsi di negeri ini, secara kelakar Cak Nun pribadi berseloroh bahwa :

“Silahkan saja para penguasa melakukan korupsi sekehendak hati mereka, sebanyak apa yang mampu diambilnya. Hanya ada satu permintaan, jangan persulit rakyat, jangan sakiti rakyat. Itu saja sudah cukup.”


Dari kesemuanya, ada satu hal yang peling membuat saya begitu terkesan.

Sehari menjelang gempa Jogja saat itu, Cak Nun mengirimkan untaian kata yang berasal dari Rasul untuk anak-anak Kyai Kanjeng, kelompok seni budaya yang dipimpinnya.
Dalam bahasa Indonesia, kurang lebih kata itu bermakna :

AKU RELA MENJADI APAPUN, BERTAKDIR BAGAIMANAPUN, SEMENDERITA APAPUN JIKA ALLAH INGINKAN. TAPI JANGAN JAUHKAN AKU DARI KASIH SAYANGMU.


Banyak orang yang tidak rela bernasib jelek, menderita, tersiksa. Banyak orang yang mengejar kesenangan, kemewahan, kekayaan sampai terkencing-kencing. Namun tak peduli dengan kasih sayang Allah. Padahal manusia hanya wajib menjalani kodratnya untuk berusaha, ikhtiar.

Kasih sayang Allah (mudah-mudahan kita mendapatkannya) melebihi apapun jika kita mendapatkannya. Semiskin apapun kita. Semua bagai tak memiliki arti lagi di mata kita.

Bandingkan denga jika kita tidak disukai Allah, kapan saja waktunya tiba kita akan lebih menderita. Semua pasti tak memiliki arti lagi di mata kita. Mungkin juga di mata Allah.


Rangkaian kata yang menyentak saya saat itu.
Kenapa saya tidak memulai untuk lebih bersyukur, agar Allah sudi memberikan cinta-Nya?

2 comments:

  1. semoga kita selalu mendapatkan Kasih SayangNya Allah. amien

    ReplyDelete
  2. Amin... Semoga saja. Thanks komentar & kunjungannya

    ReplyDelete