25 September 2009

Pangeran Kodok Terganjal Level

Lebaran baru saja berlalu. Aroma lebaran juga masih terasa dalam nafas. Nah, sekarang di sinilah gue. Di belakang meja dalam kantor gue yang masih juga berantakan mirip kapal pecah. Gue memang belum sempat beresin tempat kerja gue. Tepatnya memang nggak disempet-sempetin.

Tapi gimanapun gue betah berlama-lama di sini. Melototin monitor sambil tangan gue gerayangin mouse sama keyboard.

Biasalah... temen gue cuma air minum yang bisa saja berupa air putih, teh, kopi atau minuman suplemen. Yang penting ada airnya. Nggak ketinggalan sebungkus rokok, atau juga bisa cuma beberapa batang rokok lantaran dompet ini lebih sering cekak daripada ada isinya, boro-boro tebel. Tapi gue enjoy....swear...!

Inilah kepuasan gue. Bisa dibilang kebahagiaan gue. Gue ngerasa bahagia banget jika pulang ke rumah ketika gue baru saja menghasilkan suatu karya.

Ngomong-ngomong, gimana suasana lebaran anda ? Pasti menyenangkan. Iya lah... kesenangan dan kebahagiaan itu gak bisa kita tuntut dari orang lain. Kita sendiri yang musti ciptakan suasana hati semacam itu.

Oiya, tapi ada yang terasa mengganjal pikiran plus perasaan gue. Belum sampai pada tahap resah sich, ngapain juga resah sama hal yang nggak penting buat hidup gue. Tapi kalo gue pikir-pikir, hal yang membuat persaan gue ganjel tadi rasanya kok penting juga.

Maksud gue, ini bisa jadi penting bagi kita buat meneropong dari sudut mana kita memandang kehidupan. Mungkin aja dari sudut pandang yang berbeda saat kita melihat hidup, bisa jadi beda juga cara kita memaknai hidup.

Wah, kok ribet amat sich... ? Gini dech... gue coba ceritain yang gue maksud tadi, dengan pengertian yang lebih sederhana.

Ceritanya, gue sama istri gue merayakan lebaran hari pertama. Setelah shalat Ied dan ngumpul bareng keluarga istri gue, gue lanjutin bersilaturahmi ke keluarga dan tetangga. Setelah itu pulanglah kami berdua ke rumah gue. Rencananya sorenya gue bakal melakukan perjalanan mudik ke keluarga gue. Bareng sama istri tentu saja.

Menjelang berangkat, gue masih terpaku di depan TV. Gue penasaran sama ending FTV di sebuah televisi swasta yang identik dengan warna biru diamond.

Istri gue udah teriak-teriak dari kamar.

" Pa....!! cepetan mandi... mama udah siap nich...! "

Maksudnya istri gue nyuruh gue mandi biar bisa cepet berangkat mudik. Bukan ngajakin yang yang lain. Hahaha...

" Bentar dulu ma... papa penasaran sama ending ceritanya nich.... " gue jawab dengan mata masih melototin layar TV.

Ceritanya tuh sebenernya gak istimewa banget.
Ada seorang dokter cewek. Masih muda dan cantik. Dia ditugaskan di sebuah desa terpencil. Dia harus merubah pola pikir masyarakat desa tersebut tentang pengobatan medis.

Saking terpencilnya, ke mana-mana dokter cewek tersebut harus jalan kaki berkilo-kilo meter buat menuju ke kliniknya. Nah, ceritanya ada seorang cowok yang sering dampingin tuch dokter cewek. Dari gestur-nya kayaknya nich cowok ada hati sama dia. Dan itu semakin terbukti dari perhatiannya sama si dokter.

Sebenernya si dokter males banget ditugasin di desa itu. Soalnya kliniknya gak pernah dapet pasien lantaran masyarakat di sana lebih suka nyembuhin penyakitnya lewat dukun desa.

Tapi ada dua hal yang membuat dia balik lagi ke desa itu. Alasan klasik dan sangat tinggi faktor kebetulannya gue rasa.
Pertama, saat si dokter itu balik ke kota dan pengen nunjukin surprise sama kekasihnya, dia menangkap basah cowoknya itu lagi bermesraan sama selingkuhannya. Nah, klasik banget kan ?

Kedua, setelah dia memutuskan buat balik lagi ke desa terpencil dimana dia ditugaskan, tiba-tiba dukun desa yang selama ini jadi dewa penolong sakitnya warga ternyata sakit. Singkat cerita tuch dokter bisa ngeyakinin warga dan keluarga si dukun agar bisa dia rawat. Nah, dengan berbagai macam analisis, akhirnya ditemukan apa penyakit sang dukun. Dan si dokter cewek itu berhasil menyembuhkannya. Jadilah mereka bisa kompakan dengan komunikasi yang lebih baik. Gak kalah klasik !

But, it's ok. Nggak ada masalah bagi gue.

Terus, apa nich yang jadi masalah yang ngeganjel di hati gue ?

Nah,... masih inget seorang cowok desa yang selalu mendampingi dokter cewek itu ? Keliatannya dia emang naksir sama tuch dokter. Tapi si dokter tetep aja gak ada tanda-tanda yang sama. Istilahnya tuch cowok bertepuk sebelah tangan, gitu dech...

Sampai suatu saat, karena kelelahan si dokter pingsan. Ditolonglah dia sama tuch cowok. Dibawa ke rumah si dokter dan ditungguin sampai siuman. Pas banget setelah siuman, bokap sama nyokap si dokter datang. Setelah ngobrol panjang lebar, bokap si dokter bertanya sama si cowok desa tadi.

" Terimakasih ya nak, sudah membantu anak saya di desa ini. Ngomong-ngomong lagi sibuk apa nich ? "

" Ya... biasalah pak, berkebun kecil-kecilan. Lumayan buat menyambung hidup. " Si cowok menjawab dengan tersipu malu. Belum habis si cowok menjawab, si dokter ikut menerangkan kegiatan cowok tadi.

" Iya pah... dia punya perkebunan melon tidak jauh dari sini. "

" Wah, besok papah harus lihat tuch... papah juga tertarik. " Kata bokap si dokter.

" Dengan senang hati pak. Kalau begitu, saya permisi dulu. Saya tunggu besok kedatangannya di perkebunan saya. " Akhirnya si cowok desa berpamitan.

Esok harinya, si dokter cewek beserta bokap nyokapnya bener-bener datang.

Nah di sinilah terjadi adegan-adegan yang memaksa gue buat merenung.

" Kok kamu bekerja di kebun pake baju lab ? " Tanya si dokter tiba-tiba. Dan pertanyaan ini membuat si cowok tadi gelagapan. Gak bisa menjawab.

Save by the bell.... bokap nyokap si dokter datang.

" Hai... luas juga kebun kamu nak... tanamannya juga bagus-bagus. Bagaimana kamu bisa membudidayakan tanaman sebagus ini ? "

Belum sempat si cowok menjawab, bokap si dokter tadi bertanya lagi. Kali ini dengan penuh antusias dan penasaran.

" Tunggu...! Sepertinya saya nggak asing dengan kamu, apa kita pernah bertemu ? Sebentar, saya ingat-ingat dulu. Kamu kan,... kamu....tunggu dulu sebentar. " Dan si bokap bergegas menuju gazebo di sudut kebun. Membuka tasnya, dan mengambil sesuatu.

Sambil berlari kecil si bokap membuka sebuah halaman dalam majalah yang ada di tangannya.

" Untung saya membawa majalahnya. Ini kamu kan nak ? "

Terpampanglah sebuah foto dalam sebuah halaman majalah. Tertera judul artikel di samping fotonya : " Mahasiswa Berprestasi, Mengembangkan Melon Varian Baru " Lalu di bawahnya terpampang satu paragraf headline yang berbunyi :

Seorang mahasiswa berprestasi bernama......( gue lupa namanya ) berhasil mengembangkan varietas baru buah melon. Ini adalah hasil riset yang dilakukannya untuk mengambil gelar S 2 di....( sebuah PTN terkenal ).

Si dokter cewek kaget. Marah,

" Jadi kamu selama ini.... " kata-katanya nggk dilanjutin. Dia memilih berlari sambil menangis menahan kemarahan.

" Kok kamu masih diam di sini ? Kamu tau ? Kalau seorang wanita berlari menjauh, itu tandanya dia minta untuk dikejar ! " Kata bokap si cewek. Wah,... lampu ijo nich....

" Sekarang pak ? " Tanya si cowok dengan culunnya, meminta ketegasan.

" Apa yang kamu tunggu ? " Kata si bokap meyakinkan.

Kelanjutannya bisa ditebak. Nggak perlu gue ceritain detailnya. Sampai pada suatu pagi, mereka berada di gazebo kebun. Si cowok berpamitan untuk pergi ke kota untuk menguji risetnya. Mereka berbincang serius. Dan mungkin ini satu-satunya dialog yang gue suka.

" Aku merasa berat untuk melepasmu pergi. Tapi aku mencoba untuk memahami apa yang harus kamu lakukan. " Kata si cewek

" Aku juga berat meninggalkanmu. Tapi semua yang kulakukan kupersembahkan untukmu. Aku yakin itu, seyakin diriku merasa bahwa kamu akan menunggkuku di sini. " Wuih.... mantap.

" Aku percaya dengan apa yang akan kau lakukan, seperti percayanya aku terhadapmu, bahwa kamu pasti akan kembali menemuiku, di sini. " Ugh... gue gue jealous.

Singkat cerita, di tempat yang sama beberapa bulan kemudian. Mereka akhirnya membuktikan kata-kata yang menjadi janji terakhir mereka. Si dokter cewek akhirnya memang menunggu. Dan si cowok memang menepati janjinya buat kembali.

Seperti kalimat penutup dalam dongeng masa kecil : " and they lived happily ever after... "

Ujungnya gue bengong... sampai-sampai gue gak ngerasa waktu istri gue ngelempar anduk ke muka gue. " Mandi.... FTV-nya udah abis tuch... "

Nah,... analisa gue sama FTV yang " terpaksa " gue tonton tadi adalah :

Pertama, kalo diliat dari sisi bahwa film itu dibuat dan dinikmati sebagai hiburan semata, gak masalah lah... namanya juga hiburan ringan.

Tapi kedua, gue kok ngerasa terganggu dengan yang namanya cinta. Tepatnya cinta yang berlandaskan ketulusan. Tanpa kalkulasi duniawi. Udah jarang kali ya yang kayak gitu ?

Gue punya beberapa pertanyaan tentang keputusan cinta si dokter cewek muda itu.

Gue nggak liat ada tanda-tanda cinta dari si cewek itu sebelumnya. Tapi cinta itu tumbuh setelah dia tau bahwa cowok itu ternyata selevel dengan dia. Gawat...

Okelah... anggap aja sebenarnya si cewek juga sebenarnya cinta. Tapi keliatannya dia lebih memilih untuk menepiskan perasaan itu. Dan ketika dia tau level cowok itu, maka dia bersedia untuk menyemaikan benih cinta itu. Gawat juga...

Terus bokapnya. Dia merelakan putrinya untuk menjalin cinta dengan cowok kampung itu karena hal yang sama. Level yang sepadan. Nah.... udah triple gawat nich....

Pertanyaan gue :

Apakah si dokter cewek itu akan jatuh cinta kalo ternyata si cowok hanyalah anak desa biasa ?
Apakah dia akan bersedia menyemaikan cintanya jika ternyata si cowok asli hanya anak kampung yang nggak selevel dengan dia ?
Apakah bokapnya akan merelakan putrinya jatuh cinta dengan anak desa itu jika sebenarnya dia bukan mahasiswa berprestasi ?

I don't think so... Gue nggak yakin.

Analisa gue yang ketiga adalah : welcome to real world !

Kita tidak sedang hidup di negeri dongeng yang penuh fantasi. Dimana seorang pangeran buruk rupa dicintai secara tulus oleh seorang putri, dan ketulusan cinta itu melepaskan kutukan yang menimpa pangeran dan mengembalikan keadaannya menjadi pangeran tampan.

Dalam cerita tadi, sang pangeran tampan baru dicintai setelah sang putri tau benar bahwa dia adalah sang pangeran, dan bukan rakyat jelata.

Lalu gimana yach... kalo pangeran kodok dari negeri dongeng tersesat ke negeri nyata kita ini ? Wah,... kayaknya sampai matipun dia nggak akan bisa lepas dari kutukannya. Karena ketulusan dari sang putri yang wanita cantik dan bermartabat tinggi sudah punah di dunia nyata.

Ada nggak yach... karakter seperti dalam FTV tadi yang berperan secara tulus mencintai apa yang menjadi getar hatinya, meskipun cowok yang dicintainya hanya orang biasa ?

Ada nggak yach... karakter yang keukeuh mencintai tanpa syarat secara tulus dan sederhana, yang ketika dia tau bahwa kekasihnya bukan " orang biasa ", kemudian dia menganggap hal itu hanyalah sebagai bonus ?

Gue harus angkat bahu !

Tapi okelah.... daripada pusing, gue anggap aja itu sabagai hiburan semata.
Gue gak ada masalah sama penulis ceritanya.... semoga keep on writing.
Bahkan gue musti angkat jempol ! Kenapa ?

Karena di tengah banyaknya teriakan mengangkat realita, justru inilah relita. Hebat banget !

Diakui atau tidak, inilah potret masyarakat dunia sekarang ini. Faktanya memang begitu. Banyak yang harus diperhitungkan untuk memberi dan menerima cinta. Busyet...!!!

" Cinta sih bisa numbuh sendiri.... asal ada reward-nya " Walah....!

Gue banyak nemuin, cewek yang nangis-nangis ketika dikawinin, menolak dijodohin sama cowok yang menurut orang tuanya selevel. Tapi toh, ternyata hamil juga, punya anak juga, banyak malah. Yang gue liat sich cukup comfort dan enjoy banget.

Sementara gue yakin, dalam FTV tadi kalau si cowok memang beneran rakyat biasa, dia pasti akan tetep gigit jari.

Ya... begitulah sob....
Inilah realita...
Relita level !

1 comment:

  1. Setuju Pak jarang ada cinta yang tulus lagi. Btw tapi memang sebetulnya bngsa ini butuh tontonan yanglebih menginspirasi.

    ReplyDelete