03 September 2009

Sehelai Daun Cinta Dan Kesetiaan Mentari


Helaian daun kering jatuh satu demi satu dari pucuk cemara tepat di depan pintu ruang kerjaku. Aku termenung memandanginya. Lalu tampak olehku sehelai daun itu bergelayut, terombang ambing dipermainkan angin. Entah berapa lama dia berjuang memeluk ranting tempat dia bergantung. Hukum alam tak dapat ditolak olehnya. Diapun harus merelakan dirinya terhempas memeluk tanah.

Aku masih memandanginya. Bahkan kunikmati proses yang mengiringinya. Dimana perlahan pegangannya mulai terlepas. Bergoyang sedikit ke kanan, lalu meluncur turun. Dan angin siang ini sedikit membawanya berputar sehingga tidak serta merta helaiannya jatuh meluncur deras menghempas kerikil di bawahnya.

Di tengah dia tergolek lemah, aku melihatnya masih tersapu angin beberapa lama sampai akhirnya terdiam di sela tumpukan batu. Aku berpikir. Mungkin saat ini dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

“ Ah, untung saja sang angin megajakku melayang terlebih dahulu ke berbagai arah. Hingga aku tak perlu mengorbankan tubuhku dihempaskan ke kerikil tajam di bawah sana.”

Baginya selalu ada hikmah. Dia bersyukur terselamatkan dari kejatuhan yang menyakitkan. Dan memang benar. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ketika dia urung jatuh secara vertikal ke bawah. Angin membelokkannya hingga dia terjatuh di rerumputan yang lembut dan sejuk. Meskipun akhirnya dia terjepit di sela bebatuan yang membuatnya diam. Dan mungkin mati. Tak Bergerak.

Aku melangkah keluar dari ruang kerjaku. Aku menatapnya. Kemudian kusingkirkan bebatuan yang menghimpitnya. Benar, dia telah mati. Sekali lagi, hukum alam tak bisa dibelokkan atau ditunda.

Begitu rapuhnya sehelai daun tadi setelah bertahun segar berseri. Setelah sepanjang hidupnya telah mengabdikan seluruh waktunya untuk cinta. Dia ingin terus memberi apa yang bisa berikan. Dia telah berikan seluruh sendi tubuhnya untuk memeluk pokok ranting.

Pelukan erat dari seluruh sendi tubuhnya. Curahan cinta dari seluruh pori-pori kulitnya yang setia menampung cahaya mentari, untuk kemudian berfotosintesis, menyediakan sari makanan bagi pokok pohon pangkal dia bergantung.

Sabar. Aku memunguti satu-satu veteran pejuang cinta yang terserak di tanah itu. Aku kumpulkan dalam genggaman tangan kiriku, sementara tangan kananku mengambil helai-helai yang lain.

Pelan, aku mengambilnya. Karena sesungguhnya aku sedang menghitung waktu. Waktu yang terasa berjalan begitu malas. Lambat. Ah, memang benar kata orang. Menunggu membuat langkah waktu terasa berat dan tak kunjung beranjak.

Aku menunggu kekasihku. Seseorang yang sangat aku kasihi. Sangat aku sayangi. Aku menunggunya. Dia berjanji menemuiku di batas akhir senja hari ini. Aku melihat di ufuk barat. Senja belum berwarna merah. Masih lama.

Aku terus saja menggenggam helaian daun kering tadi. Lalu kupandangi halaman tempat mereka berserak. Oh, ternyata lumayanlah apa yang aku lakukan. Sedikit membuat halaman depan ruang kerjaku lebih bersih dan rapi. Saat itulah aku sadari bahwa aku telah bersihkan halaman ini dengan tanganku sendiri. Halaman yang cukup luas, dan tanpa alat bantu apapun di tanganku. Pikiranku mulai berhitung saat senja makin merah. Ternyata sudah cukup banyak waktu yang aku habiskan di halaman ini.

Tapi kekasihku belum juga datang.

Aku melangkah pelan menyusuri jalan setapak berlantai kerikil. Suara berderak dari kerikil yang terinjak sepatuku membuatku perih. Senja tak lagi merah. Senja semakin kelam. Cintaku tak juga datang. Aku cemas.

Aku berniat mengambil korek api dari saku celanaku sebelah kiri. Kupikir, sebaiknya kubakar saja daun kering ini. Tapi sebagian hatiku berucap :

“ Jangan !. Jangan kau bakar daun kering itu !”

“ Kenapa ? “ aku balik bertanya.

Lalu sisi hatiku yang paling romantis menjelaskan :

“ Kau tahu, berapa lama waktu yang kau habiskan untuk memungutinya ? Kau tahu berapa helaian daun yang ada dalam genggaman tanganmu ? “

Aku menjawab lagi dengan bertanya :

“ Apa peduliku ? Dan apa pedulimu ? “

“ Manusia praktis !!! “ Dia menghardikku. “ Kau tahu apa yang membuatmu berharga saat ini hah ...? Kau memiliki kesetiaan akan janji ! “

“ Aku bukan sedang berusaha untuk mempertanggungjawabkan janji, aku melakukan ini karena cinta. “ Aku mencoba memberikan bantahan.

Tiba-tiba, matahari yang sedari tadi mulai redup cahayanya dan hampir tenggelam, beranjak sedikit ke atas sembari menahan lajunya ke balik bumi. Senja yang tadinya mulai kelam, sekarang sedikit semburat merah.

Diapun menghardikku.

“ Tahu apa kau tentang cinta dan kesetiaan ? “ katanya.

“ Aku tidak tahu pasti. Tapi aku merasakan. Dan aku meyakininya ! “ entah kenapa timbul keberanianku menentang matahari. Mungkin cinta ini membuatku berani mempertahankan rasa dari apa yang ada dalam hatiku. Ah, cinta.

“ Aku yang berhak atas kepemilikan kesetiaan !!! “ suaranya menggelegar, membuatku terjajar beberapa langkah ke belakang. Daun kering di genggamanku luruh. Jatuh.

Lalu kudengar sang mentari menyambung kata-katanya dengan nada marah.

“ Dengar anak muda ! Aku diciptakan untuk setia memberikan cahaya bagi segenap penjuru bumi sesuai takaran yang digariskan alam. Aku menyapa kalian saat pagi, meninggalkanmu saat senja. Tapi aku selalu berjanji untuk menemuimu kembali saat fajar menjelang. Tak kau sadarikah itu ? “

Pepohonan diam. Dan belum sempat aku berkata, matahari kembali berkata. Kali ini dengan nada sendu, lembut.

“ Aku menyaksikan seluruh alam setiap hari. Termasuk dirimu. Aku tahu dan merasakan apa yang kau rasa. “

“ Kau tak tahu sama sekali.” Aku berhasil menyelanya.

“ Aku tahu. “ katanya.

“ Aku menyaksikan indah ataupun hancurnya hatimu. Ingat, dirimu pernah ditikam cinta, pernah disiakan oleh harapanmu sendiri. Jangan bilang tidak ! Aku pernah melihatmu tersenyum berseri ketika cinta dan harapan menghampirimu. Lalu kemudian hatimu hancur karena harapan itu tercerabut dari hatimu. Membuatnya hancur berkeping-keping. Sementara cinta itu masih melekat kuat di hatimu. Benar bukan ? “

“ Benar, dan kuakui itu. “ Aku menjawabnya.

“ Nah, dengan cinta dan harapan yang saat ini kau miliki, yakinkah bahwa dia tak kan membuatmu menangis ? “ Dia bertanya kepadaku.

Aku balik bertanya penuh harap.

“ Hai sang mentari. Kau telah mengetahui semuanya. Aku ingin bertanya kepadamu. Akankah rasa sakit karena cinta itu akan menhampiriku lagi ? Apakah cinta dan kesetiaanku ini tak kan menemui jalan kesia-siaan ? Apakah kekasihku juga benar-benar mencintaiku ? Akankah cinta kami kan menemui kebahagiaan ? “

Kuhadapkan wajahnya ke arah sang mentari. Aku berani menatapnya, karena saat ini sinarnya meredup, karena matanya sayu menatapku. Dia menggeleng.

“ Aku tahu apa yang telah terjadi. Karena aku menyaksikannya sepanjang siang hari. Dan aku tahu apa yang terjadi saat malam ketika kudengar kabar dari sang rembulan. “

Lalu dia menghela napasnya. Masih dengan matanya yang iba. Kemudian dia berkata.

“ Kau terlalu banyak bertanya anak muda. Kau tahu ? Akupun tak pernah tahu dengan apa yang akan kuhadapi di depan. Apakah awan akan menutupi sinarku, apakah hujan akan membiaskan pelangi dari sinarku ? Aku tak tahu. Yang aku tahu, di garis inilah aku berjalan. Pasti. Tapi aku juga tak tahu kapankah langkahku akan terhenti. “

Dia menyambung lagi kata-katanya.

“ Yang akan terjadi esok, sesaat lagi bahkan sedetik lagi itu di luar kendali kita. Itu misteri. Dan misteri itu mutlak milik Allah. Dzat yang menciptakanmu, menciptakanku, memanggil ruh daun kering itu. Pemilik semesta ini. “

“ Ya... aku mengerti “ Kataku sambil tertunduk. Diam, diliputi cinta, rindu, harapan sekaligus ketakutan dan kecemasan.

Tiba-tiba sinar mentari kembali terang. Menyala. Ya, kulihat dia tersenyum dan berucap.

“ Kulihat ketulusan cintamu. Tanpa pamrih. Tanpa syarat. Mudah-mudahan Tuhan akan membuatmu tersenyum bahagia ketika kuasaNya akan mempertemukan cinta kalian. Menyatukan kasih sayang kalian. Jazad kalian yang saling merengkuh dalam restuNya. “

Aku mulai kembali berharap.

“ Ketulusan cintamu, kutahu tanpa pamrih. Kuyakin dirimu akan lebih tegar seandainya cintanya tak menjadi milikmu. Karena kutahu, kau sudah sangat bahagia ketika kau merasakan bahwa kau mencintainya. “ Lanjutnya.

“ Ah, anak muda. Siapa namamu ? Reza ? Kau membuatku lengah akan tugasku. Baiklah aku akan lanjutkan apa yang menjadi titahku. Aku tahu kau tengah menunggu batas akhir senja. Akan semakin lama jika aku terus di sini. “

Dia berpamitan. Dan menengadahkan tangannya seraya berdoa dalam kata :

“ Aku ingin esok hari, ketika kutemuimu lagi kau tengah tersenyum bersama kekasihmu. “

“ Amin “ Kataku.

Kelam. Kembali kelam. Aku duduk terpekur sendiri.

Senja ini aku telah belajar tentang kekuatan pengabdian cinta dari helaian daun kering yang jatuh dari pucuk cemara.

Senja ini aku telah belajar tentang kesetiaan dan harapan dari sang mentari.

Aku telah siap mencintai dan menyayangi. Aku telah berani berharap. Aku telah bersiap menunggu garisNya, apapun akhir dari cinta ini.

Tapi aku masih menunggu dengan cemas. Oh, ternyata aku belum siap menanggung rindu. Duh, di manakan dirimu kekasihku ?

Aku ambil kembali daun-daun yang jatuh dari genggamanku tadi. Akan kuhitung satu-satu sebagai bukti dari hitungan waktuku menunggu dirinya. Seperti kata sebagian hatiku tadi.

Baru beberapa helai kuhitung. Belum habis dan masih banyak yang tersisa. Ketika kulihat dalam keremangan senja kulihat sesosok tubuh indah berjalan, setengah berlari. Ya, aku mengenali tubuh itu. Aku memahami langkahnya. Bahkan aku mengenali bau tubuh yang terbawa angin senja itu. Aku bangkit, namun tubuhku bergetar. Dadaku berdebar hebat. Benarkah apa yang kulihat ?

Dia semakin dekat, namun aku tak kuasa berdiri. Aku beranjak semampuku. Aku merangkak. Tak peduli kerikil tajam melukai telapak tangan dan merobek lututku. Aku terus merangkak sambil berusaha berdiri. Darah membanjiri dadaku, ternyata tak kusadari dadaku tergores duri dari dahan mawar yang melengkung tertiup angin.

Semakin dekat dengannya, akhirnya aku mampu berdiri. Cinta dan harapan membuatku kuat menapak dengan pasti.

Kulihat dengan jelas. Ya,... itu kekasihku. Sosok yang jiwa raganya aku rindukan siang dan malam. Dia menemuiku. Kurasakan dia meraih tanganku, membersihkan luka di tanganku. Mengusap darah di dadaku.

Kita bertatapan. Walau aku malu dan tersipu, sempat kulihat sinar matanya. Aku merasa sangat mengenali tatapan itu. Aku yakin. Aku yakin mengenalinya. Tatapan yang membuatku damai. Dia benar-benar kekasihku.

Kuberanikan diri untuk menatap matanya, membelai rambutnya. Perlahan kupeluk dia. Kami berpeluk erat. Kening kami beradu, saling diam. Tapi hati kami saling berkata : “ I love you “

Perlahan kucium lembut bibirnya. Dalam.

Ajaib ! Seperti dalam film-film romantis, hujan tiba-tiba turun membasahi bumi yang sempat terpanggang seharian.

Kuusap wajahnya. Kulihat dia menangis. Akupun begitu.

Dalam kehangatan ciuman, kutanyakan padanya :

“ Will you marry me honey ? “

“ I do.............”

Hujan semakin deras. Kuyakin mentari akan ikut tersenyum bahagia esok hari. Ketika kekasihku terbangun dalam dekapanku.

**********

Pekalongan, 3 Septy 2009

Reza Ahmad Zamroni

1 comment: