30 October 2009

Banyak Penyiar Yang Onani Dalam Siarannya

" Lu siap-siap aja, besok dua hari lagi lu dikirim ke workshop tentang program radio ! " Waktu masih siaran, gue seneng banget kalau bos manggil gue ke ruangannya dan bilang seperti barusan. Walaupun dalam hati gue pengen banget bilang,

" Bukan naik gaji bos ? "

Tapi serius, dikirim ke sebuah workshop atau pelatihan atau apapun namanya, juga bikin gue girang bukan kepalang, mungkin seperti anak kecil di bulan puasa yang lagi nunggu-nunggu lebaran, tiba-tiba bokapnya bilang,

" Lebaran datengnya dipercepat jadi besok pagi... " Nah loh, pasti waktu kecil anda juga udah jingkrak-jingkrak dapet pengumuman kayak gitu.

Begitulah, rasanya sama. Mengikuti pelatihan bagi gue adalah menang door prize yang ditunggu-tunggu. Karena dengan berangkat ke workshop yang biasanya bisa makan waktu seminggu, atau paling cepet tiga hari di luar kota, gue bakal dapet uang saku dari kantor, nginep gratis di hotel plus akomodasi.

And last but not least, di hari terakhir sebelum pulang ke kota masing-masing kita disuruh tandatangan di sebuah tanda terima dari sebuah amplop. Tau kan apa isinya ?

Nah, ngomong-ngomong tentang workshop radio, gue inget bener dengan satu analogi yang dicontohkan oleh salah seorang pembicara. Dia bilang begini,

" Coba suatu saat sebelum siaran anda pasang hidden camera di rumah salah seorang pendengar ! " Maksudnya apa nih ? Gue bertanya dalam hati waktu itu.

" Jangan lupa direkam adegan di ruangan pendengar anda itu ! " Tentu saja si pembicara tadi nggak bermaksud serius nyuruh peserta workshop buat mempraktekkan itu. Tapi gue pikir boleh juga tuh dicoba. Kira-kira apa yang bakal terjadi dalam rekaman video yang dipasang secara sembunyi-sembunyi tadi yah...?

" Nah,... siaranlah anda seperti biasanya. Berbicara dan putarlah musik seperti yan selama ini anda kerjakan. Setelah selesai siaran, ambil rekaman videonya, lalu putar dan lihat ! "

Gue jadi penasaran. Sebenernya apa sih yang dimaksud sama pembicara ini ? Apa kaitannya antara siaran dengan video rekaman di ruangan pendengar radio ? Gue mulai meraba-raba, mungkin maksudnya buat mengetahui perilaku pendengar. Tapi penjelasan yang disampaikan oleh si pembicara membuat gue merenung. Bahkan sampai sekarang.

" Coba anda lihat rekaman video tadi. Apa yang dilakukan oleh pendengar saat anda siaran ? Apakah dia akan menghentikan sejenak aktifitasnya demi menyimak apa yang anda sampaikan dalam siaran ? Ataukah dia acuh saja dan tetap beraktifitas tetapi telinganya masih mendengar anda bicara ? Apakah pendengar anda membiarkan anda berbicara bla bla bla panjang lebar sambil berakifitas dan tidak memahami apapun yang anda sampaikan ? Ataukah dalam video anda melihat pendengar anda bersimbah keringat karena menahan muntah atau bahkan muntah-muntah sampai kejang-kejang ? "

Gawat ! Pendengar gue gimana ya saat gue nyerocos di depan mic ? Gue kira kemungkinan terburuk dari contoh di ataspun tak lebih buruk daripada pendengar itu bersungut-sungut dan kemudian memindahkan channel atau malah mematikan pesawat radio. Tragis banget kan ?

Dan ini yang juga sangat gue sukai dalam mengikuti workshop. Ada banyak suggestion yang bisa diserap hingga kita menjadi semakin kaya akan amunisi yang diperlukan untuk membuat siaran menjadi berkualitas.

Nyatanya kebanyakan penyiar radio sekarang ( terutama di daerah ) menjadikan siarannya sebagai ajang untuk tebar pesona. Gue heran banget kok kayaknya mereka nggak punya tanggung jawab moral buat bekerja secara professional. Dan gue semakin gemes ketika menyadari bahwa mereka itu dibayar !

Nah, sekarang gue kaitkan perilaku penyiar semacam itu ke dalam analogi hidden camera tadi. Yang jelas memang dalam siaran si peyiar nggak akan bisa buat memuaskan semua orang. Lho... siapa suruh ? Kayaknya nggak ada dech tuntutan bagi penyiar buat memuaskan semua pendengarnya. Emang nggak ada yang nyuruh kan ? Jadi nggak usah repot-repot lah...

Kenapa ?

Gue kira semua radio juga nerapin target sasaran audience ( pendengar ). Itu pasti. Kalau nggak, berarti stasiun radio itu nggak professional. Jadi buat anda yang ngebet siaran, jangan pernah bergabung di situ kalau ngak ingin jadi bodoh. Ok,...gue balikin lagi tentang pembicaraan kita tentang target audience. Sasaran pendengar dari satu statsiun radio atau biasa disebut dengan segmentasi sebenernya sangat spesifik dan mengerucut.

Maksud gue gini, segmentasi pendengar itu sendiri bisa dipersepsikan dalam berbagai sisi. Misalnya dari usia, status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan sampai ada yang menyentuh lifestyle atau gaya hidup. Ternyata cukup sempit kan ? Seharusnya dengan begitu kita mudah untuk mempersonifikasikan siapa pendengar kita. Gue ambil contoh di sini. Persepsikan sebuah program acara atau stasiun radio memiliki segmentasi pendengar :

- Usia 20 - 45 tahun

- SES / status ekonomi C - B dengan pengeluaran per bulan 1 - 3 juta

- Komposisi jenis kelamin Pria 40 % dan Wanita 60 %

Sebenernya dalam filosofi program yang disususn oleh Program Director pastinya sudah dijelaskan profil pendengarnya. Jadi penyiar seharusnya sudah bisa mempersonifikasikan pendengarnya. Ok... kalau menurut rabaan gue, pendengar dengan kualifikasi usia dan tingkat usia kayak gitu kra-kira yang paling muda pastinya masih kuliah. Yang paling tua pastinya masih produktif. Sebagian besar di antaranya sudah memiliki keluarga alias sudah menikah. Memiliki kendaraan pribadi, minmal roda dua dan memiliki rekening di bank.

Tapi anehnya, yang namanya penyiar ( sekali lagi : terutama di daerah ) itu memang bandel banget. Kayaknya mereka itu masih nggak menganggap penting koridor itu, akhirnya jalannya kemana-mana. Kalau udah begini gue sedih, gue ngerasa justru penyiar itu sendiri yang nggak mau menghargai profesinya sebagai penyiar. Semuanya berangkat dari motivasi kali yah...? Tapi gue berprinsip, kita nggak boleh permisif dalam hal ini.

Dalam kasus ini, gue banyak menemukan kesalah pahaman penyiar saat memasuki ruang siaran. Dia nggak mau tau filosofi program yang ada. Jadilah dia siaran dengan berapi-api dengan persepsi profil pendengar yang ada di kepalanya sendiri. Bukannya berjalan di koridor yang seharusnya, dia malah sibuk berpacu dengan adrenalinnya sendiri seolah pendengarnya adalah kalangan remaja yang dia yakin akan terpesona dengan performance siarannnya. Hasilnya adalah, pendengar yang menjadi target audience program akan lari terbirit-birit lantaran takut ada paedophil nyasar. Sementara anak-anak remaja yang tergambar dalam benak si penyiar itu ternyata nggak ada yang mendengarkan. Jelas aja anak-anak remaja itu nggak denger dia saran karena yang dia tau sebenernya radio itu tuh radio dewasa ! Nah,... ada ide nggak ? Kalau anda jadi bosnya, mendingan diapain yah penyiar kayak gini ?

Tapi itu mungkin contoh yang terlalu ekstrim, walaupun bisa aja terjadi. Kalaupun misalnya terjadi, gue nggak tau siapa yang goblok, penyiarnya atau Program Directornya.

Contoh lain, yang mungkin disadari atau nggak, diakui atau nggak adalah kedisiplinan penyiar terhadap apa-apa yang harus dipersiapkan sebelum siaran. Katakanlah script ( naskah siaran ).

Gue dulu ( sampai sekarang ) menganggap dunia siaran radio adalah dunia yang bebas dari KKN. Coba aja, anak bos yang memiliki stasiun radiopun nggak bisa seenaknya ikut-ikutan siaran kalau nggak mau bunuh diri mematikan perusahaan orang tuanya. Taruhlah misalnya iya, dia sempet siaran, pasti nggak lama setelah itu akan mental sendiri. Bisa karena sadar akan kapasitasnya yang nggak memenuhi syarat atau malu karena ternyata nggak ada yang dengerin siarannya. Pendeknya, kualitas dari siapaun yang mencoba untu siaran, pasti akan bisa dinilai dengan objektif.

Susahnya, tidak ada hal yang eksak dalam dunia radio. Tapi bukan berarti kebijakan-kebijakan dan SOP ( Standar Operasional dan Prosedur )-nya tidak bisa dinilai dan dipertanggungjawabkan baik secara kaidah maupun keilmuan. Nah celah ketidak eksakan itulah yang menjadi celah bagi beberapa penyiar untuk membuka etalase bagi dirinya sendiri.

Gue sering ngeliat atau mendengarkan penyiar yang bersiaran dengan menebar kata-kata yang berbunga-bunga. Dia tidak mau tau bagaimana dia harus memaksimalkan fungsi-fungsi radio sebagai media massa. Akhirnya program tebar pesonalah yang kemudian terdengar. Paling banter dia melaksanakan misi " dari dan ke ". Maksud gue, muatan andalan penyiar macam begini adalah " .....dari si anu untuk si itu....."

Hah...! Udah gitu dia coba-coba buat belok dari play list yang disusun Music Director. Kemudian mengalunlah lagu-lagu favorit dia. Nih anak siaran buat siapa sih...?

Udahannya, selesai siaran dia keluar dari ruang siaran dengan langkah pasti. Waajahnya berseri. Ekspresinya puaaaassss banget ! Gimana nggak puas ? Lagu-lagu yang dia putar semuanya lagu-lagu yang disukai. Tebar pesonanya nendang banget, sampai bikin kecengannya kelepek-kelepek. Sekali lagi puaaaasss banget !!!

Hei...!!! Sadar nggak sih ? Wake up man...! Program yang disusun oleh Program Director dengan segala filosofinya menguap, terbang entah kemana. Akhirnya, target audience jadi nggak jelas. Target pesan juga nggak jelas kemana arahnya. Trus... apa yang didapatkan oleh pendengar selain tangannya yang kemudian dengan pasti beralih ke radio lain.

Akhirnya, hanya dia sendiri yang merasa sangat puas. Kalau audience yang sebenarnya menjadi target tetap mau dengerin tapi nggak ngerasa puas, berati tuh penyiar letoy atau ejakulasi dini.

Nah,... kalau dia puas sendiri dan ternyata nggak ada audience yang dengerin siarannya ?

Apalagi namanya kalau bukan onani alias masturbasi ?

3 comments:

  1. setuju bang!
    *biasanya nih para penyiar itu dipanggil abang :p*

    terkadang henny suka bingung sama penyiar radio, gara-gara bahasanya yang aneh atau ngomongnya yang rada berlebihan *kecepatan dan gaya bahasanya, maksud henny* puncaknya adalah pada saat tante henny ikutan ngedengerin dan bilang "radio remaja ya? ganti ah..males ngedengerinnya".
    kayak kata bang reza tadi, seharusnya para penyiar tahu segmentasi pendengarnya, jadi mereka bisa memilah bahasa dan gaya bicara yang baik.
    ^^

    ReplyDelete
  2. Hallo Bang
    saya penggemar radio mulai dari jaman Sandiwara Radio " Brama Kumbara " mpe jaman sekarang, jamannya banyak artis nyambi jadi penyiar radio.. hehehe
    Saya sependapat ma tulisan diatas, harusnya penyiar nyadar segmen n menyesuaikan. Saya gak terlalu suka penyiar yang terlalu "personal" entah becandanya, lagu2 yang diputar dll. Toh radio ruang publik.
    Just my point of view...
    Lam kenal.. saya follow.yah

    ReplyDelete
  3. To Henny & Apatheia
    Thanks ya buat commentn-nya. Sayang banget kalau radio mengalami degradasi kayak gitu. Kalo kita permisif, gimana nantinya nasib radio. Jadi, kalo nggak mau terlena & jadi bodoh gara2 dibodohin penyiar yg kayak gitu, selektiflah dalam dengerin radio. Masih banyak radio yang bisa kasih " sesuatu " buat pendengarnya.

    ReplyDelete